Tampilkan postingan dengan label Artikel. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Artikel. Tampilkan semua postingan

Selasa, 06 Oktober 2015

Ahmadiyah di Mata Guntur Romli

Saudara-saudara, saya ingin membagi informasi tentang ajaran Ahmadiyah yang saya baca langsung dari kitab karangan pendirinya, Mirza Ghulam Ahmad (MGA). Kitab yang menjadi rujukan saya adalah “al-khazain al-ruhiyah”, “al-mawahib al-rahman” yang merupakan terjemahan dari bahasa Urdu Ahmadiyah. Saya akan membagi pembahasan jadi dua, yaitu ajaran-ajaran apa dari mereka yang sama dan ajaran-ajaran apa dari mereka yang berbeda. Selengkapnya...

Ahmadiyah dan Khilafah Spiritual

Hari ini, saya diundang untuk memberikan ceramah di depan jamaah Ahmadiyah untuk memperingati satu abad gerakan ini. Suatu kehormatan yang benar-benar tak saya sangka. Saya bukan pengikut Ahmadiyah, meski saya punya simpati yang besar pada gerakan itu. Posisi saya mirip dengan Bung Karno. Selengkapnya...

Senin, 25 Agustus 2014

Toleransi Yang Mulai Memudar

Sejak tahun 1995, Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) telah mengukuhkan satu hari sebagai “Hari Toleransi Internasional” yaitu pada tanggal 16 November. Salah satu ruh dari ditetapkannya Hari Toleransi Internasional adalah sebagai upaya untuk mengingatkan dan memberikan pendidikan kepada masyarakat tentang pentingnya toleransi dan dampak negatif dari intoleransi.
Semangat Toleransi Internasional adalah mengajak umat manusia untuk mengakui dan menghargai hak dan keyakinan orang lain serta menyadari betapa ketidak adilan, penindasan, rasisme, diskriminasi, kebenciaan berbasis agama, dan sejenisnya mempunyai dampak yang sangat buruk bagi kehidupan bersama.
Selengkapnya...

Selasa, 18 Juni 2013

Komentar Pribadi Atas Pemberitaan Metrotvnews.com, Jakarta: Ratusan Jemaat Ahmadiyah di Kuningan, Jawa Barat,

Metrotvnews.com, Jakarta: Ratusan Jemaat Ahmadiyah di Kuningan, Jawa Barat, Selasa (18/6), mengucapkan kembali kalimat syahadat di hadapan Menteri Agama Suryadharma Ali dan ribuan warga Kuningan lainnya. Pembacaan itu dipimpin Kepala Kementerian Agama Kabupaten Kuningan Agus Abdul Kholik. 
Komentar Pribadi : Terkait dengan informasi di atas ada beberapa hal yang perlu diperhatikan
Selengkapnya...

Minggu, 10 April 2011

Nabi Palsu, Sikap Nabi, dan Ahmadiyah)*


TEMPO Interaktif, Pada tahun kesepuluh Hijriah, Nabi Muhammad SAW menerima surat dari seseorang yang mengaku jadi nabi. Namanya Musailamah bin Habib, petinggi Bani Hanifah, salah satu suku Arab yang menguasai hampir seluruh kawasan Yamamah (sekarang sekitar Al-Riyad). Dalam suratnya, Musailamah berujar: “Dari Musailamah, utusan Allah, untuk Muhammad, utusan Allah. Saya adalah partner Anda dalam kenabian. Separuh bumi semestinya menjadi wilayah kekuasaanku, dan separuhnya yang lain kekuasaanmu….”

Seperti dituturkan ahli tafsir dan sejarawan muslim terkemuka pada abad ketiga Hijriah, Imam Ibn Jarir Al-Tabari (838-923), dalam kitabnya Tarikh al-Rusul wa al-Muluk (Sejarah Para Rasul dan Raja) atau yang dikenal sebagai Tarikh al-Tabari, Musailamah bukanlah sosok yang sepenuhnya asing bagi Nabi. Beberapa bulan sebelum berkirim surat, Musailamah ikut dalam delegasi dari Yamamah yang menemui beliau di Madinah dan bersaksi atas kerasulannya. Delegasi inilah yang kemudian membawa Islam ke wilayah asal mereka dan membangun masjid di sana.

Menerima surat dari Musailamah yang mengaku nabi, Rasul tidak lantas memaksanya menyatakan diri keluar dari Islam dan mendirikan agama baru, apalagi memeranginya. Padahal gampang saja kalau beliau mau, karena saat itu kekuatan kaum muslim di Madinah nyaris tak tertandingi. Mekah saja, yang tadinya menjadi markas para musuh bebuyutan Nabi, jatuh ke pelukan Islam. Yang dilakukan Rasul hanyalah mengirim surat balasan ke Musailamah: “Dengan Nama Allah Yang Maha Pemurah dan Pengasih. Dari Muhammad, utusan Allah, ke Musailamah sang pendusta (al-kazzab). Bumi seluruhnya milik Allah. Allah menganugerahkannya kepada hamba-Nya yang Dia kehendaki. Keselamatan hanyalah bagi mereka yang berada di jalan yang lurus.” Rasul menempuh dakwah dengan cara persuasi dan bukan cara kekerasan. Musailamah memang dikutuk sebagai al-Kazzab, tapi keberadaannya tidak dimusnahkan.

Namun, setelah Nabi wafat, ceritanya jadi lain. Umat Islam yang masih shocked karena ditinggal pemimpinnya berada dalam ancaman disintegrasi. Sejumlah suku Arab menyatakan memisahkan diri dari komunitas Islam di bawah pimpinan khalifah pertama, Abu Bakr al-Shiddiq. Sebagian dari mereka mengangkat nabi baru sebagai pemimpin untuk kelompok mereka sendiri. Musailamah dan sejumlah nabi palsu lain, seperti Al-Aswad dari Yaman dan Tulaikhah bin Khuwailid dari Bani As’ad, menyatakan menolak membayar zakat, suatu tindakan yang pada masa itu melambangkan pembangkangan terhadap pemerintah pusat di Madinah. Abu Bakr lalu melancarkan ekspedisi militer untuk menumpas gerakan pemurtadan oleh para nabi palsu tersebut, yang menurut dia telah merongrong kedaulatan khalifah dan membahayakan kesatuan umat. Perang Abu Bakr ini dikenal sebagai “perang melawan kemurtadan (hurub al-ridda).”

Tampaknya, “perang melawan kemurtadan” inilah yang diadopsi begitu saja oleh para pelaku kekerasan terhadap Ahmadiyah tanpa disertai pemahaman yang mumpuni terhadap duduk perkaranya. Penyerangan brutal di Banten minggu lalu, yang menewaskan tiga warga Ahmadiyah, secara luas memang telah dikecam bahkan oleh banyak kalangan muslim sendiri, entah dengan alasan menodai citra Islam yang damai, merusak kerukunan beragama, atau melanggar hak asasi kaum minoritas. Tapi bagi para pelaku penyerangan dan yang membenarkannya, seperti FPI, apa yang mereka lakukan semata-mata demi membela Islam dari noda pemurtadan. Jemaah Ahmadiyah dianggap telah murtad karena mengakui Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi, dan karena itu mesti dikeluarkan secara paksa dari Islam.

Ironisnya, Majelis Ulama Indonesia (MUI), Menteri Agama, dan pihak-pihak yang mengaku tidak menyetujui anarkisme terhadap Ahmadiyah, yang terus memaksa agar Ahmadiyah menjadi agama baru di luar Islam, sebenarnya juga memakai pendekatan “perang melawan kemurtadan” secara gegabah. Dalam hal ini, perbedaan MUI dan Menteri Agama dengan kaum penyerang Ahmadiyah hanya terletak dalam hal metode, tapi tidak dalam tujuan. Saya sebut ironis karena majelis ulama, yang berlabel “Indonesia” di belakang, ternyata merubuhkan prinsip kebinekaan Indonesia. Ironis karena seorang menteri yang merupakan hasil pemilu demokratis ternyata mempunyai pandangan yang melenceng dari konstitusi demokratis yang menjamin hak setiap warga menjalankan agama sesuai dengan keyakinannya. Yang paling ironis, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membiarkan saja semua itu terjadi.

Lepas dari itu, kalau kita tinjau dari sudut doktrin dan sejarah Islam pun, pemakaian kerangka “perang melawan pemurtadan” untuk menyikapi Ahmadiyah sejatinya sama sekali tak berdasar. Patut diingat, sebutan “perang melawan kemurtadan” bukanlah kreasi Abu Bakr sendiri, melainkan penamaan belakangan dari para sejarawan muslim. Disebut demikian barangkali karena yang diperangi saat itu memang arus pemurtadan yang terkait dengan munculnya sejumlah nabi palsu. Dan gerakan nabi palsu pada masa itu berjalin berkelindan dengan upaya menggembosi kedaulatan kekhalifahan. Penolakan membayar zakat bukan hanya pelanggaran terhadap rukun Islam, tapi juga sebentuk aksi makar. Ini karena, berbeda dengan ibadah salat yang hanya melulu menyangkut hubungan hamba dan Tuhannya, urusan zakat berkaitan dengan negara. Tambahan pula, para nabi palsu tersebut juga membangun kekuatan militernya sendiri. Musailamah, misalnya, menggalang tidak kurang dari 40 ribu anggota pasukan untuk melawan pasukan muslim dalam perang Yamamah, sampai-sampai armada muslim di bawah Khalid bin Walid sempat kewalahan pada awalnya. Karena itu, perang Abu Bakr melawan kemurtadan mesti dibaca sebagai sebuah tindakan yang lebih bersifat politis ketimbang teologis, yakni berhubungan dengan penumpasan terhadap kelompok pemberontak.

Karena itu, “perang melawan kemurtadan” versi khalifah Abu Bakr tidak bisa begitu saja diterapkan dalam konteks Indonesia sekarang. Taruhlah memang jemaah Ahmadiyah telah murtad karena mempercayai Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi. Tapi bukankah sejauh ini mereka belum pernah membangun kekuatan militer untuk merongrong umat Islam dan pemerintahan yang sah seperti Musailamah pada masa khalifah Abu Bakr? Bukankah sejauh ini warga Ahmadiyah hanya menuntut untuk diberi ruang menjalankan ibadah sesuai dengan keyakinannya? Kalau memang begitu, apakah tidak keliru kalau mereka diperlakukan seperti para pemberontak?

Ditinjau dari perspektif kaidah fiqh “hukum berporos pada alasan”, gerakan pemurtadan oleh para nabi palsu pada masa Abu Bakr memang wajib diperangi, karena saat itu kemurtadan identik dengan pemberontakan yang mengancam kedaulatan khalifah dan integrasi umat. Adapun kalau sekadar murtad saja tanpa dibarengi pemberontakan, hukum yang berlaku tentu tidak sama. Pada titik inilah kita bisa mengacu pada peristiwa korespondensi antara Nabi Muhammad dan Musailamah seperti saya paparkan di awal tulisan.

Di sinilah pemahaman tentang metodologi hukum Islam mutlak diperlukan dalam melihat pokok soalnya. Tanpa pengetahuan yang mumpuni tentang metodologi hukum Islam, keputusan yang muncul dan tindakan yang diambil mungkin saja tampak sesuai dengan ajaran syariat, tapi bisa jadi esensinya bertentangan dengan maqashid al- syari’ah (tujuan-tujuan syariat) yang lebih bersifat universal, seperti perlindungan terhadap hak-hak dasar manusia.

Lagi pula, satu-satunya dalil Al-Quran tentang kemurtadan sama sekali tidak menyeru kaum muslim untuk memerangi kaum murtad semata-mata karena kemurtadannya. Simaklah Surat Ali Imran ayat 90. Ayat ini tidak menyinggung soal perlunya menggunakan cara-cara kekerasan dan paksaan terhadap si murtad, karena Tuhanlah yang akan menjadi hakim atas perbuatannya di akhirat nanti.

Dalam kerangka Qurani semacam inilah kita bisa mengerti kenapa Nabi tidak menghukum Musailamah, yang tanpa tedeng aling-aling mengaku sebagai nabi. Bukan karena beliau mendiamkannya--toh Nabi melabelinya dengan gelar “Al-Kazzab”. Menurut saya, nabi bersikap seperti itu karena, dalam Al-Quran, hukuman terhadap si murtad memang sepenuhnya menjadi hak prerogatif Allah SWT. Nabi Muhammad hanyalah seorang manusia biasa yang bertugas menyampaikan risalah Ilahi. Beliau bukan Tuhan yang turun ke bumi. Itulah sebabnya Al-Quran menegaskan tidak ada paksaan dalam agama.

Kalau Nabi saja demikian sikapnya, alangkah lancangnya Front Pembela Islam (FPI), MUI, dan Menteri Agama yang merasa punya hak untuk mengambil alih wewenang Tuhan untuk mendaulat diri mereka sebagai hakim atas orang-orang yang dianggap murtad seperti terlihat dalam sikap mereka terhadap jemaah Ahmadiyah. Di sinilah saya kira umat Islam mesti memilih dalam bersikap, mau mengikuti cara-cara FPI, MUI, dan Menteri Agama, atau meneladan sikap Rasulullah.

*)
Akhmad Sahal, Kader NU, kandidat PhD Universitas Pennsylvania
Selengkapnya...

Minggu, 28 November 2010

Rahasia Basmallah


Basmalah atau Bismillah adalah bacaan yang sudah lazim di kalangan umat Islam. Bacaan itu biasanya diucapkan ketika membaca kitab suci Alquran maupun ketika akan memulai satu hal, misalnya makan, duduk, memulai pekerjaan dll. Bacaan tersebut adalah:


بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

-- bismillahir-Rahmaanir-Rahiim --
"Dengan Nama Allah Yang Maha Pemurah Maha Penyayang"

Dalam Alquran dengan Terjemahan dan Tafsir singkat terbitan Jemaat Ahmadiyah (1997) pada halaman 5 tertulis:
Ba' [di awal basmalah] itu [merupakan] kata depan yang dipakai untuk menyatakan beberapa arti dan arti yang lebih tepat di sini, ialah "dengan." Maka kata majemuk bism itu akan berarti "dengan nama". Menurut kebiasaan orang Arab, kata iqra' atau aqra'u atau naqra'u atau isyra' atau asyra'u atau nasyra'u harus dianggap ada tercantum sebelum bismillah, suatu ungkapan dengan arti "mulailah dengan nama Allah", atau "bacalah dengan nama Allah" atau "aku atau kami mulai dengan nama Allah", atau "aku atau kami baca dengan nama Allah." Dalam terjemahan ini ucapan bismillah diartikan "dengan nama Allah," yang merupakan bentuk lebih lazim (Kamus Lane).

Ism mengandung arti : nama atau sifat (Kamus Aqrab). Di sini kata itu dipakai dalam kedua pengertian tersebut. Kata itu menunjuk kepada Allah, nama wujud Tuhan; dan kepada Ar-Rahman (Maha Pemurah) dan Ar-Rahim (Maha Penyayang), keduanya nama sifat Tuhan.
Allah itu nama Dzat Maha Agung, Pemilik Tunggal semua sifat kesempurnaan dan sama sekali bebas dari segala kekurangan. Dalam bahasa Arab kata Allah itu tidak pernah dipakai untuk benda atau zat lain apa pun. Tiada bahasa lain memiliki nama tertentu atau khusus untuk Dzat Yang Maha Agung itu. Nama-nama yang terdapat dalam bahasa-bahasa lain, semuanya nama-penunjuk-sifat atau nama pemerian (pelukisan) dan seringkali dipakai dalam bentuk jamak; akan tetapi, kata "Allah" tidak pernah dipakai dalam bentuk jamak.

Kata Allah itu "ism dzat," tidak "musytak," tidak diambil dari kata lain, dan tidak pernah dipakai sebagai keterangan atau sifat. Karena tiada kata lain yang sepadan, maka nama "Allah" dipergunakan di seluruh terjemahan ayat-ayat Alquran. Pandangan ini didukung oleh para alim bahasa Arab terkemuka. Menurut pendapat yang paling tepat, kata "Allah" itu, nama wujud bagi Dzat yang wajib ada-Nya menurut Dzat-Nya Sendiri, memiliki segala sifat kesempurnaan, dan huruf al adalah tidak terpisahkan dari kata itu (Kamus Lane).

Ar-Rahman (Maha Pemurah) dan Ar-Rahim (Maha Penyayang) keduanya berasal dari akar yang sama. Rahima artinya, ia telah menampakkan kasih-sayang; ia ramah dan baik; ia memaafkan, mengampuni. Kata Rahmah menggabungkan arti riqqah, ialah "kehalusan" dan ihsan, ialah "kebaikan," "kebajikan" (Mufradat). Ar-Rahman dalam wazan (ukuran) fa'lan, dan Ar-Rahim dalam ukuran fa'il. Menurut kaedah tatabahasa Arab, makin banyak jumlah huruf ditambahkan pada akar kata, makin luas dan mendalam pula artinya (Kasysyaf). Ukuran fa'lan membawa arti kepenuhan dan keluasan, sedang ukuran fa'il menunjuk kepada arti ulangan dan pemberian ganjaran dengan kemurahan hati kepada mereka yang layak menerimanya (Muhith).

Jadi, di mana kata Ar-Rahman menunjukkan "kasih sayang meliputi alam semesta", kata Ar-Rahim berarti "kasih sayang yang ruang lingkupnya terbatas, tetapi berulang-ulang ditampakkan." Mengingat arti-arti di atas, Ar-Rahman itu Dzat Yang menampakkan kasih sayang dengan cuma-cuma dan meluas kepada semua makhluk tanpa mempertimbangkan usaha atau amal; dan Ar-Rahim itu Dzat Yang menampakkan kasih sayang sebagai imbalan atas amal perbuatan manusia, tetapi menampakkannya dengan murah dan berulang-ulang.

Kata Ar-Rahman hanya dipakai untuk Tuhan, sedang Ar-Rahim dipakai pula untuk manusia. Ar-Rahman tidak hanya meliputi orang-orang mukmin dan kafir saja, tetapi juga seluruh makhluk. Ar-Rahim terutama tertuju kepada orang-orang mukmin saja. Menurut Sabda Rasulullah s.a.w., sifat Ar-Rahman umumnya bertalian dengan kehidupan di dunia ini, sedang sifat Ar-Rahim umumnya bertalian dengan kehidupan yang akan datang (Muhith). Artinya, karena dunia ini pada umumnya adalah dunia perbuatan, dan karena alam akhirat itu suatu alam tempat perbuatan manusia akan diganjar dengan cara istimewa, maka sifat Tuhan Ar-Rahman menganugerahi manusia alat dan bahan, untuk melaksanakan pekerjaannya dalam kehidupan di dunia ini, dan Sifat Tuhan Ar-Rahim mendatangkan hasil dalam kehidupan yang akan datang.

Segala benda yang kita perlukan dan atas itu kehidupan kita bergantung adalah semata-mata karunia Ilahi dan sudah tersedia untuk kita, sebelum kita berbuat sesuatu yang menyebabkan kita layak menerimanya, atau bahkan sebelum kita dilahirkan; sedang karunia yang tersedia untuk kita dalam kehidupan yang-akan-datang, akan dianugerahkan kepada kita sebagai ganjaran atas amal perbuatan kita. Hal itu menunjukkan bahwa Ar-Rahman itu Pemberi Karunia yang mendahului kelahiran kita, sedang Ar-Rahim itu Pemberi Nikmat-nikmat yang mengikuti amal perbuatan kita sebagai ganjarannya.
Sabda Rasulullah saw. Mengenai Basmalah

Rasulullah saw. pernah bersabda bahwa segala amal itu akan terputus pahalanya kecuali jika disebut nama Allah. Nama Allah lazim disebut ketika membaca basmalah.
Bismillah-ir-Rahman-ir-Rahim adalah ayat pertama tiap-tiap Surah Alquran, kecuali Al Bara'ah (At-Taubah) yang sebenarnya bukan Surah yang berdiri sendiri, melainkan lanjutan Surah Al-Anfal. Ada suatu hadis yang diriwayatkan oleh Ibn Abbas yang maksudnya, bila sesuatu Surah-baru diwahyukan, biasanya dimulai dengan bismillah, dan tanpa bismillah, Rasulullah s.a.w. tidak mengetahui bahwa Surah baru telah dimulai (H.R. Abu Daud). Hadis ini menampakkan bahwa
bismillah itu bagian Alquran dan bukan suatu tambahan,
Surah Bara'ah itu, bukan Surah yang berdiri sendiri.
Hadis itu menolak pula kepercayaan yang dikemukakan oleh sementara orang bahwa, bismillah hanya merupakan bagian Surah Al-Fatihah saja dan bukan bagian semua Surah Alquran. Selanjutnya, ada riwayat Rasulullah s.a.w. pernah bersabda bahwa, ayat bismillah itu bagian semua Surah Alquran (Bukhari dan Quthni).
Oleh karena itu, penulisan nomor ayat Al-Quran berdasarkan Hadits Nabi Besar Muhammad shollAllahu ‘alaihi wa sallamriwayat sahabat Ibnu Abbas rodhiyAllahu ‘anhu yang menunjukkan bahwa basmalah pada setiap awal surat adalah ayat pertama surat itu.
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ يَعْرِفُ فَصْلَ السُّوْرَةِ حَتَّى يَنْزِلَ عَلَيْهِ بِسْمِ اللهِ الرَّحمْـاـنِ الرَّحِيْمِ

“Nabi shollAllahu ‘alaihi wa sallam tidak mengetahui pemisahan surat itu sehingga bismillaahir-rochmaanir-rochiimturun kepadanya.” (HR Abu Daud, “Kitab Sholat”; dan Al-Hakim dalam “Al-Mustadrok”)
Berdasarkan hal diatas, penulisan ayat-ayat Alquran di dalam Cinta-Islam, jika dicocokkan dengan mushaf-mushaf Alquran Usmani, harus dikurangi satu ayat.
Hikmah Basmalah

Hikmah ditempatkannya bismillah pada permulaan tiap-tiap Surah mempunyai arti seperti berikut:
Alquran itu khazanah ilmu Ilahi yang tidak dapat disentuh tanpa karunia khusus dari Tuhan, "Tiada orang boleh menyentuhnya, kecuali mereka yang telah disucikan" (56 : 80). Jadi, bismillah telah ditempatkan pada permulaan tiap Surah untuk memperingatkan orang Muslim bahwa, untuk dapat masuk ke dalam Khazanah ilmu Ilahi yang termuat dalam Alquran; dan untuk mendapat faedah darinya ia hendaknya mendekatinya bukan saja dengan hati yang suci, melainkan ia harus pula senantiasa mohon pertolongan Tuhan.
Ayat bismillah itu, mempunyai pula tujuan penting yang lain. Ayat itu ialah kunci bagi arti dan maksud tiap-tiap Surah, karena segala persoalan mengenai urusan akhlak dan rohani, dengan satu atau lain cara, ada pertaliannya dengan dua Sifat Ilahi yang pokok, yaitu Rahmaniyah (Kemurahan) dan Rahimiyah (Kasih-Sayang). Jadi tiap-tiap Surah pada hakikatnya, merupakan uraian terperinci dari beberapa segi Sifat-sifat Ilahi yang tersebut dalam ayat ini.
Basmalah Bukan Bajakan

Ada tuduhan bahwa kalimah bismillah, itu diambil dari Kitab-kitab Suci sebelum Alquran. Kalau Sale mengatakan bahwa, kalimah itu diambil dari Zend Avesta, maka Rodwell berpendapat bahwa, orang-orang Arab sebelum Islam mengambilnya dari orang-orang Yahudi, dan kemudian dimasukkan ke dalam Alquran.
Kedua paham diatas nyata sekali salah. Hal ini terbukti bahwa,
Tidak pernah dida'wakan oleh orang-orang Islam bahwa, kalimah itu dalam bentuk ini atau sebangsanya tidak dikenal sebelum Alquran diwahyukan.
Keliru sekali mengemukakan sebagai bukti bahwa, karena kalimah itu dalam bentuk yang sama atau serupa kadang-kadang dipakai oleh orang-orang Arab sebelum diwahyukan dalam Alquran, maka kalimah itu tidak mungkin asalnya dari Tuhan. Sebenarnya Alquran sendiri menegaskan bahwa, Nabi Sulaiman a.s. memakai kalimah itu dalam suratnya kepada Ratu Saba (27 : 31). Apa yang dida'wakan oleh orang-orang Islam - sedang da'wa itu, tidak pernah ada yang membantah, ialah bahwa, di antara Kitab-kitab Suci, Alquran adalah yang pertama-tama memakai kalimah itu dengan caranya sendiri. Pula keliru sekali mengatakan bahwa, kalimah itu sudah lazim di antara orang-orang Arab sebelum Islam, sebab kenyataan yang sudah diketahui ialah bahwa, orang-orang Arab mempunyai rasa keseganan menggunakan kata Ar-Rahman sebagai panggilan untuk Tuhan. Pula, jika kalimah demikian dikenal sebelumnya, maka hal itu malah mendukung kebenaran ajaran Alquran bahwa, tiada satu kaum pun yang kepadanya tidak pernah diutus seorang Pemberi Ingat (35 : 25), dan juga bahwa, Alquran itu adalah khazanah semua kebenaran yang kekal dan termaktub dalam Kitab-kitab Suci sebelumnya (98 : 5). Alquran tentu menambah lebih banyak lagi dan apa pun yang diambilalihnya, Alquran memperbaiki bentuk atau pemakaiannya, atau memperbaiki kedua-duanya.
Semoga Allah Ta'ala memberikan taufiq kepada kita untuk selalu mengingat nama-Nya dengan menyebut nama-Nya ketika akan melakukan sesuatu yang bermanfaat. Amin. []
Sumber: Alquran dengan terjemahan dan tafsir terbitan Jemaat Ahmadiyah Indonesia
Selengkapnya...

Senin, 07 September 2009

Ibadah Puasa, Medium Toleransi Berbasis Iman

Paulus Shenouda III, pemimpin tertinggi Kristen Koptik Alexandria, Mesir menulis sebuah artikel tentang puasa di harian
al-Ahram, Mesir (16/9) tentang al-Shawm: Syurutuhu wa fawaiduhu (Puasa: Syarat-syarat dan manfaatnya).

Ia menulis, "Dari hati yang terdalam, saya mengucapkan selamat berpuasa bagi umat Islam di Mesir dan seluruh penjuru
dunia Islam. Yang mana puasa telah merekatkan hati kita, lebih-lebih mendekatkan hati kita dengan Allah.
Mudah-mudahan puasa kita diterima dan diberkahi Allah."

Ucapan itu betul-betul menyentuh relung hati terdalam. Di satu sisi semakin membenarkan firman Tuhan di dalam
al-Quran, bahwa puasa merupakan tradisi agama-agama sebelum Islam. Puasa merupakan medium untuk mencapai
singgasana ketakwaan. Puasa adalah medium toleransi (QS al-Baqarah [2]: 183).

Paulus Shenouda menulis dengan sangat baik tentang hakikat puasa dan maknanya bagi kehidupan sehari-hari. Menurut
dia, puasa pada hakikatnya bukanlah ritual yang membawa keutamaan pada jasad jasmani. Keutamaan puasa terletak
pada upaya seseorang untuk meninggalkan ketamakan duniawi menuju keutamaan ruhani. Dengan demikian, puasa
bukanlah menahan lapar belaka. Puasa lebih dari itu, itu jalan menuju asketisme batin.

Di sini, bilamana seseorang dalam puasanya tidak mencapai puncak hakikat, sesungguhnya ia belum memahami esensi
puasa. Pernyataan Paulus Shenouda di atas menemukan momentumnya dalam tradisi Islam. Dalam sebuah hadisnya,
Nabi Muhammad SAW senantiasa mengingatkan umatnya agar mengenali dan memahami esensi puasa. Ia bersabda,
Berapa banyak orang berpuasa, tapi puasanya hanya sekadar menahan lapar dan dahaga.

Hadis itu sebenarnya ingin mengatakan, sumber segala masalah adalah ketamakan dunia. Berapa banyak masalah
kemanusiaan yang disebabkan oleh ketamakan akan kekuasaan dan kekayaan. Sebab itu, puasa harus mampu
melampaui ketamakan menuju kebersihan dan kepuasan batin.

Pada hakikatnya ketamakan duniawi tidak akan ada batasnya. Sementara kepuasan batin akan mampu dicapai setelah
mampu melakukan olahbatin, seperti puasa. Puasa akan mengingatkan dan menyadarkan setiap makhluk Tuhan tentang
adanya "yang lain" yang lebih penting daripada "aku" yang tamak dan rakus.

Pertobatan

Di sini, puasa merupakan ajaran yang sangat esensial dalam agama-agama. Sebab agama-agama hadir dalam rangka
melawan ketamakan duniawi yang dilakukan penguasa-penguasa diktator. Yahudi, Kristen dan Islam adalah
agama-agama yang hadir untuk membela kemanusiaan dan melawan ketidakadilan, ketamakan, dan kebiadaban yang
dilakukan penguasa pada zamannya.

Karen Armstrong menyatakan agama-agama merupakan transformasi agung (the great transformation), yang membawa
ajaran tentang kemanusiaan, keadilan, dan perdamaian. Masalahnya, pemeluk agama sering kali lupa akan esensi dari
agama mereka, yaitu dengan cara menjadikan agama sebagai justifikasi dan legitimasi bagi kepentingan mereka. Karena
itu, pada akhirnya agama jauh dari poros aksisnya.

Shenouda menambahkan dalam tulisannya, puasa tidak akan sempurna bilamana tidak disertai dengan pertobatan.
Bilama seseorang yang berpuasa sudah mampu memahami hakikat puasa, ia akan melakukan pertobatan. Di sini, salah
satu buah dari puasa adalah kejernihan pikiran dan hati-nurani. Puasa akan menyegarkan dan mencerahkan pikiran dan
hati-nurani, sehingga mampu menjadi oase bagi upaya pembangunan masyarakat yang mempunyai keadaban dan
peradaban adiluhung.

Puncaknya, puasa akan mampu membangun kesadaran tentang pentingnya membantu kaum lemah, meningkatkan
kebaikan dan mengetuk pintu sedekah. Setelah puasa naik ke singgasana nilai-nilai ketuhanan, pada akhirnya puasa
turun ke bumi untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan.

Dalam hal ini, puasa mempunyai keutamaan yang luar biasa. Puasa dapat menjadi salah satu harapan untuk
memperbaiki rapuhnya tatanan kemanusiaan. Di tengah menguatnya ambisi kepentingan yang berbasis bendera
kelompok dan golongan tertentu, puasa diharapkan dapat menjadi kunci utama bagi terbentuknya kesadaran tentang
adanya "yang lain".

Shenouda telah menjadi salah satu contoh penting bagi tafsir otentik terhadap pilar agama. Puasa merupakan common
platform di antara agama-agama agar saling mengingatkan tentang esensi di balik ajaran yang terdapat dalam setiap
agama.

Tradisi Toleransi

Apa yang dilakukan Shenouda dalam tulisannya di atas bukanlah hal baru. Bagi masyarakat Mesir hal itu sudah menjadi
bagian integral dari relasi antaragama. Sudah menjadi tradisi, setiap bulan puasa, pemuka Kristiani khususnya kalangan
Koptik, mengundang kalangan Muslim untuk berbuka puasa di gereja. Begitu pula gayung bersambut dilakukan kalangan
Muslim, yaitu dengan cara mengundang kalangan non-Muslim untuk ikut menyemarakkan acara kebudayaan islami,
seperti forum dialog ilmiah (al-muntada al-tsaqafi), yang biasanya dilaksanakan oleh kementerian urusan wakaf. Tradisi
toleransi semacam ini telah menjadi khazanah kultural yang dapat menjadi batu-bata bagi kukuhnya bangunan toleransi di
Mesir.

Di sini tesis yang menyatakan, pemuka agama merupakan manifestasi dari umat betul-betul menemukan momentumnya.
Pemuka agama merupakan teladan bagi toleransi di tengah keragaman umat. Toleransi pada hakikatnya merupakan
ajaran yang inheren dalam setiap agama, karenanya tidak perlu dikhawatirkan bilamana muncul hubungan dialogis antara
agama-agama. Justru sebaliknya, yang harus dikhawatirkan adalah bilamana agama-agama selalu dikonfrontasikan
dengan dalih sejarah dan pandangan abad kegelapan.

Belajar dari Mesir, tradisi toleransi yang sudah mendarah-daging membuat mereka tidak perlu payung peraturan untuk
membangun toleransi. Sebab esensi agama-agama bukanlah institusi atau kulit luar dari agama, melainkan ajaran-
ajaran yang terkandung di dalamnya.

Di Tanah Air, tradisi toleransi yang bersifat praksis sebagaimana ditunjukkan Paulus Shenouda III di atas, telah mulai
dirintis Sinta Nuriyah. Dengan pelbagai kalangan Kristiani di Bandung, Jawa Barat, ia dundang untuk acara buka bersama
mereka. Hal itu menjadi tanda baik bagi tumbuhnya benih-benih toleransi di masa mendatang. Sebab cara yang demikian
makin memberikan pencerahan pada publik, bahwa dengan puasa keinginan untuk membangun kerukunan dan toleransi
sebenarnya harus senantiasa tumbuh. Puasa pada intinya ingin membangun kesadaran tentang pentingnya menyadari
perbedaan dan melampauinya untuk membangun praksis toleransi.

Dengan demikian, memaknai puasa harus mampu diinternalisasi dalam kehidupan nyata, terutama dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Dalam sebuah negara yang dihuni beragam agama, suku dan afiliasi politik, ajaran spesifik
keagamaan seperti puasa harus mampu menggugah kesadaran publik tentang pentingnya toleransi dalam rangaka
membangun pemahaman yang baik tentang pentingnya pluralisme di dalam negara yang menjunjung tinggi persamaan.

Toleransi berbasis iman seperti nilai-nilai adiluhung puasa akan semakin menyadarkan kita semua, bahwa
agama-agama harus bergandengan tangan untuk mengambil faedah yang sebanyak-banyaknya dari setiap pilar
ajarannya. Lebih-lebih dalam ajaran yang juga dianut dan dilakukan agama-agama lain.

Paulus Shenouda III memberikan teladan baik pada kita, pada hakikatnya agama-agama mempunyai kesamaan visi
tentang pentingnya menjadikan agama sebagai elan vital bagi terwujudnya kemanusiaan di tengah-tengah keragaman
publik.

Toleransi adalah ajaran yang mendarah-daging dalam agama-agama. Sebab itu, tugas setiap agamawan yaitu menggali
ajaran toleransi sebanyak dan sesering mungkin, sehingga pelbagai konflik dan kebencian yang kerap kali digunakan
sebagian kelompok yang mengatasnamakan agama dapat diatasi dengan menggunakan tradisi dan doktrin yang terdapat
di dalam agama. Dengan demikian, agama dapat men-jadi jalan menuju pembebasan dari pandangan dan sikap
intoleran.

Oleh: Zuhairi Misrawi
Penulis adalah Direktur Moderate Muslim Society (MMS); buku terbarunyayang akan terbit, Al-Quran Kitab Toleransi:
Inklusivisme, Pluralisme dan Multikulturalisme

sumber: http://www.suarapembaruan.com/News/2007/09/20/Editor/edit01.htm

Selengkapnya...

Jumat, 08 Mei 2009

Jadikan Toleransi Sebagai Modal

Para pendiri bangsa telah menciptakan Indonesia sebagai negara yang masyarakatnya penuh toleransi dengan menjadikan Pancasila dan UUD 1945 sebagai asas dan pedoman hidup bersama.

Keragaman identitas bangsa Indonesia yang sejak awal disadari pendiri bangsa itu kini mulai dinafikan seiring dengan perkembangan dunia yang semakin mengglobal dan kepemimpinan bangsa yang lemah.

Bagi Zuhairi Misrawi, Koordinator Program Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat, modal toleransi yang telah dikukuhkan itu masih menjadi toleransi yang pasif. Sebuah bentuk toleransi yang hanya didasari pada kepentingan bersama untuk hidup damai dan harmonis di antara perbedaan agama, ras, suku, budaya, dan bahasa.

Namun, itu saja tidak cukup. Toleransi pasif harus dikembangkan menjadi toleransi yang aktif. Kebersamaan yang telah terwujud harus menjadi modal dan jembatan untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan sejahtera.

”Toleransi mampu mewujudkan demokrasi dan menyelamatkan bangsa dari keterpurukan dan kemiskinan,” katanya. Toleransi harus menjadi spirit untuk menyelesaikan berbagai masalah sosial, politik, dan budaya yang menjerat bangsa Indonesia.

Intoleransi

Namun, kini mulai terjadi kemunduran atas rasa dan semangat kebersamaan yang sudah dibangun. Intoleransi menebal yang ditandai dengan meningkatnya rasa benci dan saling curiga di antara sesama anak bangsa.

Hegemoni mayoritas atas minoritas semakin menebal, menggantikan kasih sayang, tenggang rasa, dan semangat untuk berbagi. Kualitas, visi, dan filosofi mulai dikalahkan oleh kuantitas, arogansi, dan provokasi.

Intoleransi muncul akibat hilangnya komitmen politik untuk menjadikan toleransi sebagai jalan keluar mengatasi berbagai persoalan yang membuat bangsa terpuruk. Bangsa Indonesia tak yakin toleransi mampu menjadi solusi atas problematika hidup berbangsa dan bernegara.

Dalam perspektif keagamaan, semua kelompok agama belum yakin bahwa nilai dasar dari setiap agama adalah toleransi. Akibatnya, yang muncul adalah kecenderungan intoleransi dan konflik.

”Padahal, agama bisa menjadi energi positif untuk membangun nilai toleransi guna mewujudkan negara yang adil dan sejahtera,” ujarnya.

Berbagai perkembangan politik, sosial, dan ekonomi global turut memengaruhi menguatnya intoleransi di Indonesia. Sikap konsumtif masyarakat, termasuk dalam pemikiran, membuat bangsa lebih yakin dengan nilai dan ajaran dari luar negeri dibandingkan dengan kemampuan bangsa sendiri untuk menciptakan nilai yang pas bagi bangsa.

Potensi Indonesia

Dibandingkan dengan negara lain, Indonesia sebenarnya relatif lebih toleran karena Indonesia memiliki kesepakatan politik dan peraturan yang mengatur tentang toleransi. Namun, kebijakan toleransi itu tidak ditopang dengan nilai toleransi yang cukup. Akibatnya, kesetaraan dan kesempatan yang sama untuk membangun bangsa belum dirasakan seluruh anak bangsa.

Jika menguatnya intoleransi tidak segara diatasi negara, Indonesia dapat menjadi negara zero tolerance yang menafikan keragaman. Berbagai peradaban dunia telah membuktikan pengabaian toleransi dalam kehidupan berbangsa dan kegagalan kebijakan politik melindungi keragaman negara dapat menjadikannya sebagai negara gagal.

Namun, sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia dan mampu menjalankan prinsip-prinsip demokrasi secara damai, Indonesia memiliki modal yang besar untuk mengembangkan pemikiran keagamaan yang konstruktif bagi demokrasi dan toleransi. Ditambah dengan nilai budaya yang beragam, Indonesia dapat menjadi produsen pemikiran Islam moderat dan dakwah yang damai.

Kesempatan itu semakin besar akibat kegagalan negara-negara Barat dalam mengembangkan demokrasi dan toleransi. Klaim atas kebenaran dan kebencian kelompok mayoritas atas minoritas semakin menguat seiring dengan gencarnya perang melawan terorisme global.

Di negara-negara Muslim sendiri, semangat untuk menghargai kelompok lain justru semakin berkurang. Sebagian besar negara Muslim juga masih disibukkan oleh persoalan-persoalan domestik yang mengekang kemajuan yang didambakan.

”Model keislaman di Indonesia yang berhasil membangun demokrasi dalam tataran nilai dan praktis mulai dilirik masyarakat global,” katanya.

Indonesia memiliki institusi mandiri yang mampu menyokong pengembangan pemikiran agama yang moderat. Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah sebagai organisasi sosial keagamaan yang memiliki visi kebangsaan yang kuat dapat memainkan perannya.

Pesantren-pesantren yang dimiliki NU serta sekolah-sekolah yang dimiliki Muhammadiyah dapat menjadi basis pengembangan pemikiran yang tidak hanya mengajarkan hal-hal yang bersifat doktrinal, tetapi juga sejarah, filsafat, dan norma keagamaan. Jika nilai-nilai keagamaan yang dikembangkan lembaga- lembaga itu dirumuskan dalam konteks modern, maka nilai-nilai itu akan menjadi sedekah yang sangat berarti dari umat Islam Indonesia bagi dunia.

Mayoritas-minoritas

Persoalan mayoritas-minoritas selalu mengemuka saat membincangkan toleransi. Namun, hal ini dapat diatasi jika prinsip kesetaraan dikedepankan.

Kesetaraan akan terwujud jika dilandasi semangat keterbukaan yang akan membuka wawasan dan hati serta menghilangkan kebencian dan kecurigaan terhadap pihak lain. Kesetaraan juga akan tercapai jika tiap pihak mengakui perbedaan dengan yang lain.

Negara sebenarnya memiliki tanggung jawab terbesar untuk mewujudkan kesetaraan di antara seluruh warganya. Namun, peran ini belum dijalankan negara dan justru diperankan oleh kelompok masyarakat madani.

Keyakinan Zuhairi atas prinsip kesamaan manusia tanpa memandang identitas tak terlepas dari pendidikannya di pesantren. Pengasuh Pondok Pesantren Al Amien, Prenduan, Sumenep, KH Muhammad Idris Jauhari, selalu mengajarnya untuk bebas berpikir dan belajar.

Pergaulannya dengan berbagai kelompok masyarakat lintas agama dan bangsa semakin membuka cakrawalanya akan arti penting toleransi.



Selengkapnya...

Who is Allah?

''Listen, O those who can, to what God desires from you. And what He desires is only that you become solely His and do not associate any partners with Him, neither in the heavens nor on the earth. Our God is that God who is alive even now as He was alive before.



He speaks even now as He used to speak before. And even now He hears as He used to hear earlier. It is a false notion that in these times He does hear but does not speak. But He hears and speaks, too. All His Attributes are eternal and everlasting. None of His Attributes is in abeyance, nor will it ever be. He is the One without any associate Who has no son, nor has He any wife. He alone is the peerless Who has no one like Him. And He is the One Who is unique in that none of His Attributes are exclusively possessed by anyone besides Him. He is the One Who has no equal. He is the One Who has no one to share with Him His Attributes. And He is the One no Power of Whose is less than perfect. He is near, though He is far and He is far, though He is near.

He can reveal Himself to Ahl-e-Kashf in personification, but He has no body, nor any shape. He is above all, but it cannot be said that there is anything beneath Him. He is on 'Arsh, but it can't be said that He is not on the earth. He is the sum total of all Perfect Attributes and He is the Manifestation of every True Praise. He is the source of all that is Good and encompasses all Powers and He is the source of all Beneficences. He is the One to Whom everything returns. He is the Lord of all realms. He possesses every Perfection and is free from all defects, imperfections and weakness. It is His sole prerogative that all those who belong to the earth as well as all those who belong to the heavens should worship Him.

As far as He is concerned nothing is impossible for Him. All souls and their potentialities, and all particles and their potentials are His and only His creation. Nothing comes into existence without His agency. As for Him He reveals Himself through His Powers, His Omnipotence and His Signs. We can attain Him only through Him. He always reveals His Person to the righteous and shows them His Omnipotence—and this is the only means by which He is recognized and by which that way is recognized which is favoured by Him. He sees without physical eyes and hears without physical ears and speaks without a physical tongue. Likewise it is His work to bring a thing into existence from nothingness.

For example, in the visions of dream you see how He creates a world without matter and shows you every mortal and nonexistent being as having existence. Thus are all His Powers. Ignorant is he who denies His Powers. Blind is he who has no knowledge of His profound and inconceivable Powers. He can, and does, everything that He intends to, except those things which violate His Majesty or which are in conflict with His Promises and Verdicts. He is unique in His Being, in His Attributes, in His Actions and in His Powers.

All doors to reach Him are closed except the one door which the Noble Qur'an has opened. And all Prophethoods and all Books of the past are such as now there is no need left to follow them independently. Because the Prophethood of Muhammad (sa) comprises them all and encompasses them all. And except it [the Prophethood of Muhammad (as) ] all routes to God are closed. Each and every truth which leads to God is in it alone. Neither any truth will come after this, nor there was a truth which is not present in it. And for this reason all Prophethoods have ended with this Prophethood. And so it should have been: for a thing which has a beginning must also have an end. But this Prophethood of Muhammad (sa) in its intrinsic beneficence is not deficient. Rather its beneficence far surpasses the beneficence of other prophethoods. Following the Prophethood of Muhammad (sa) is the easiest route through which one can reach God. Obedience to it wins greater gifts of Divine love and Divine communion than ever before.''

Selengkapnya...

Selasa, 16 September 2008

Praktek Puasa Rasulullah SAW



Oleh : Muh Idris

Allah SWT di dalam al-Quran mewajibkan kepada umat Islam untuk berpuasa ketika memasuki bulan Ramadhan. Perintah ini dalam redaksi kalimatnya ditujukan kepada setiap orang yang beriman. Oleh karena itu maksud dan tujuan utama untuk melaksanakan puasa di bulan Ramadhan adalah meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT.


Allah Taala berkenaan dengan puasa di bulan Ramadhan berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa. (al-Baqarah [2]:183)
Maulana Muhammad Ali dalam The Holy Quran menjelaskan tafsir ayat ini bahwa puasa adalah perintah Tuhan yang sama universalnya dengan perintah shalat. Akan tetapi Islam memperkenalkan pemahaman yang baru tentang puasa. Sebelum Islam puasa hanyalah dimaksudkan untuk mengurangi makan, minum, dan tidur pada waktu berkabung dan berduka cita. Tetapi Islam menjadikan puasa sebagai sarana untuk meninggikan akhlak dan rohani manusia. Hal ini sesuai dengan firman-Nya la’allakum tattaqûn (supaya kamu memperoleh ketakwaan/menjauhi diri dari kejahatan). Sehingga tujuan dari puasa itu sendiri adalah untuk melatih manusia bagaimana caranya menjauhkan diri dari segala macam keburukan.

Sedangkan Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan : Puasa artinya menahan diri dari makan, minum dan berjima disertai niat yang ikhlas karena Allah Yang Maha Mulia dan Agung, karena puasa mengandung manfaat bagi kesucian, kebersihan, dan kecemerlangan diri dari percampuran dengan keburukan dan akhlak yang rendah. Allah menuturkan bahwa sebagaimana Dia mewajibkan puasa kepada umat Islam, Dia pun telah mewajibkan kepada orang-orang sebelumnya yang dapat dijadikan teladan. Maka hendaklah puasa itu dilaksanakan dengan sungguh-sungguh dan lebih sempurna daripada yang dilakukan oleh orang terdahulu, sebagaimana Allah berfirman, “…untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikanNya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberianNya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan…” (al-Maa’idah [5]:48)

Oleh karena itu, Allah berfirman, “Hari orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana telah diwajibkan kepada orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” Sebab puasa dapat menyucikan badan dan mempersempit gerak setan sebagaimana hal ini dikemukakan dalam shahihain , “wahai para pemuda, barangsiapa diantara kamu sudah mampu memikul beban keluarga, maka kawinlah, dan barangsiapa yang belum mampu maka berpuasalah karena itu merupakan benteng baginya (HR Bukhari Muslim)

Pada permulaan Islam, puasa dilakukan tiga hari pada setiap bulan. Kemudian pelaksanaan itu dinasakh oleh puasa pada bulan Ramadhan. Dari Muadz, Ibnu Mas’ud, dan yang lainnya dikatakan bahwa puasa ini senantiasa disyariatkan sejak zaman Nuh hingga Allah manasakh ketentuan itu dengan puasa Ramadhan. Puasa diwajibkan atas mereka dalam waktu yang lama sehingga haram baginya makan, minum dan berjima’, serta perbuatan sejenisnya. Kemudian Allah menjelaskan hukum puasa sebagaimana yang berlaku pada permulaan Islam. (Ibnu Katsir, jld 1/h.286-287)

Sehingga untuk dapat memenuhi tujuan dari puasa maka perlu dipahami bagaimana cara Rasulullah SAW berpuasa. Beliau SAW adalah suri teladan terbaik bagi umat Islam, karena syariat Islam diturunkan kepada beliau SAW. Dan beliau lah wujud yang paling mengerti bagaimana harus mengimplementasikan setiap perintah dari Allah SWT. Jadi beliau lah teladan praksis yang sempurna bagi seluruh umat manusia karena beliau diutus oleh Tuhan bukan hanya untuk umat Islam saja melainkan sebagai rahmat bagi seluruh alam.

Di dalam banyak hadits-hadits telah disebutkan dengan jelas, bagaimana cara Rasulullah SAW berpuasa.Nasehat dan petunjuk beliau SAW dalam hal puasa ini diantaranya :
Yang pertama adalah niatkan puasa untuk mencari keridhoan Allah SWT. Hal ini terdapat di dalam hadits muttafaqun ‘alaihi yang meriwayatkan dari Abu Hurairah RA, ia berkata : Rasulullah SAW bersabda : Barang siapa yang berpuasa Ramadhan atas dasar iman dan mengharap ridha Allah, maka dosa-dosanya yang telah berlalu akan diampuni.
Di dalam hadits ini disebutkan agar puasa yang kita lakukan dapat menghasilkan pengampunan atas dosa-dosa yang telah lalu maka syaratnya adalah meniatkan berpuasa hanya semata-mata untuk meraih ridho Tuhan saja.

Yang kedua adalah beliau SAW berpuasa Ramadhan setelah melihat hilal dan mengakhirinya setelah melihat hilal lagi. Hal ini terdapat di dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah RA bahwa Rasulullah SAW bersabda : Berpuasalah kalian jika telah melihat hilal dan sudahilah puasa kalian jika telah melihat hilal lagi. Jika mendung menyelimutu kalian, maka genapkanlah hitungan bulan sya’ban menjadi 30 hari. (HR Bukhari dan Muslim)

Yang ketiga adalah beliau SAW membiasakan untuk makan sahur. Sebagaimana telah diriwayatkan oleh Anas RA, ia berkata : Rasulullah SAW bersabda : Bersantap sahurlah kalian, sebab di dalam sahur itu terdapat barakah. (HR Bukhari dan Muslim) Salah satu barakahnya adalah tubuh kita menjadi fit dan bugar dalam menjalankan puasa dan kita terhindar dari lemah, lesu dan loyo ketika menghadapi puasa sehingga aktifitas yang lainnya dapat dikerjakan dengan baik.
Dan beliau SAW juga biasa mengakhirkan sahur, sebagaimana terdapat riwayat dari Anas bin Malik (dan dalam satu riwayat darinya bahwa Zaid bin Tsabit bercerita kepadanya) bahwa Nabiyullah dan Zaid bin Tsabit makan sahur bersama. Tatkala keduanya telah selesai sahur, Nabi berdiri pergi shalat, maka shalatlah beliau. Aku bertanya kepada Anas : Berapa lama antara keduanya selesai makan sahur dan mulai shalat? Anas berkata: Sekitar (membaca) lima puluh ayat.(HR Bukhari)

Yang keempat adalah beliau SAW mengupayakan untuk menyegerakan berbuka puasa. Hal ini terdapat dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Sahl bin Sa’ad RA bahwa Rasulullah SAW bersabda : Manusia akan senantiasa berada dalam kebaikan selama mereka mau menyegerakan berbuka. (HR Bukhari dan Muslim). Di dalam hadits yang lain Rasulullah SAW disebutkan sangat menyukai berbuka dengan makan kurma. Berkaitan dengan hal ini, terdapat riwayat dari Sulaiman Ibnu Amir Al-Dhobby bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: Apabila seseorang di antara kamu berbuka, hendaknya ia berbuka dengan kurma, jika tidak mendapatkannya, hendaknya ia berbuka dengan air karena air itu suci. Riwayat Imam Lima. Hadits shahih menurut Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan Hakim.

Yang kelima sebagian malam beliau SAW habiskan untuk qiyamul lail (mendirikan shalat malam) di bulan suci Ramadhan. Berkenaan dengan hal ini terdapat riwayat hadits, Abu Hurairah r.a. mengatakan bahwa Rasulullah bersabda, Barangsiapa yang mendirikan (shalat malam) di bulan Ramadhan karena iman dan mengharap pahala dari Allah, maka diampuni dosanya yang telah lampau. (HR Bukhari)

Yang keenam adalah beliau SAW selalu menyibukkan diri untuk membaca al-Quran. Berkenaan dengan hal ini terdapat sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abbas RA, ia berkata : saat malaikat Jibril menemui beliau. Setiap kali Jibril menemui beliau pada malam Ramadhan, pasti beliau tengah mentadabburi al-Quran.(HR Bukhari dan Muslim). Oleh karena itu, di dalam bulan suci Ramadhan agar diusahakan untuk menamatkan tilawat al-Quran sehingga berkat dari tilawat al-Quran tersebut dapat menambah keimanan dan ketakwaan kita kepada Allah SWT.

Yang ketujuh adalah beliau SAW memperbanyak sedekah lebih dari hari-hari biasa. Ibnu ‘Abbas RA meriwayatkan, ia berkata : Rasulullah SAW adalah sosok manusia yang paling pemurah, terutama sekali pada bulan Ramadhan, saat malaikat Jibril menemui beliau. Setiap kali Jibril menemui beliau pada malam Ramadhan, pasti beliau tengah mentadabburi al-Quran. Sungguh tatkala Jibril menemiu beliau, beliau adalah sosok manusia yang paling pemurah dalam mengulurkan kebaikan, bahkan lebih pemurah daripada angina (pembawa rahmat) yang terus bertiup. (HR Bukhari dan Muslim).
Jadi di dalam hadits ini disebutkan bahwa Rasulullah SAW adalah sosok teladan kedermawanan bagi kita, akan tetapi di dalam bulan Ramadhan kedermawanan beliau lebih hebat lagi dari biasanya.

Yang kedelapan adalah beliau SAW beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir di bulan suci Ramadhan. Hal ini sesuai dengan bunyi matan beberapa hadits berikut ini, diriwayatkan oleh Ibnu Umar RA, ia berkata : Rasulullah SAW beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. (HR Bukhari dan Muslim)
Dari 'Aisyah Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam selalu beri'tikaf pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan hingga beliau wafat, kemudian istri-istri beliau beri'tikaf sepeninggalnya. (Muttafaq Alaihi)
Dari 'Aisyah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bila hendak beri'tikaf, beliau sholat Shubuh kemudian masuk ke tempat i'tikafnya. (Muttafaq Alaihi)
'Aisyah Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam pernah memasukkan kepalanya ke dalam rumah -- beliau di dalam masjid--, lalu aku menyisir rambutnya dan jika beri'tikaf beliau tidak masuk ke rumah, kecuali untuk suatu keperluan. Muttafaq Alaihi dan lafadznya menurut Bukhari. Merujuk hadits-hadits tentang i’tikaf ini, sesuai dengan sunnah Rasulullah SAW, maka pelaksanaan i’tikaf adalah mengambil tempat di masjid dan selama i’tikaf, mu’takif (orang yang melakukan i’tikaf) harus tetap berada di masjid sampai waktu i’tikaf selesai.

Yang kesembilan adalah beliau SAW tidak pernah memaksakan untuk tetap berpuasa bagi musafir, orang yang sakit dan sedang menghadapi udzur. Hal ini sesuai dengan hadits-hadits berikut ini, dari Hamzah Ibnu Amar al-Islamy Radliyallaahu 'anhu bahwa dia berkata: Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku kuat berpuasa dalam perjalanan, apakah aku berdosa? Maka Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: Ia adalah keringanan dari Allah, barangsiapa yang mengambil keringanan itu maka hal itu baik dan barangsiapa senang untuk berpuasa, maka ia tidak berdosa. Riwayat Muslim dan asalnya dalam shahih Bukhari-Muslim dari hadits 'Aisyah bahwa Hamzah Ibnu Amar bertanya. Di dalam hadits yang lain terdapat pula riwayat dari Jabir bin Abdullah r.a. berkata : Rasulullah dalam suatu perjalanan, beliau melihat kerumunan dan seseorang sedang dinaungi. Beliau bertanya, Apakah ini? Mereka menjawab, Seseorang yang sedang berpuasa. Maka, beliau bersabda, Tidak termasuk kebajikan, berpuasa dalam bepergian.(HR Bukhari). Ibnu Abbas Radliyallaahu 'anhu berkata: Orang tua lanjut usia diberi keringanan untuk tidak berpuasa dan memberi makan setiap hari untuk seorang miskin, dan tidak ada qodlo baginya. Hadits shahih diriwayatkan oleh Daruquthni dan Hakim.

Di dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW pernah bersabda berkenaan dengan keutamaan dalam berpuasa di bulan Ramadhan, dari Abu Hurairah RA, ia berkata : Rasulullah SAW bersabda : Allah berfirman : Semua amal shaleh anak Adam akan dilipatgandakan, satu kebaikan dilipatgandakan menjadi 10 kalinya, bahkan sampai 700 kalinya, kecuali puasa, sebab puasa adalah milik-Ku dan hanya Aku lah yang akan membalasnya, hal ini dikarenakan seseorang yang berpuasa itu meninggalkan syahwat dan makanannya karena Aku. Oran yang berpuasa itu memiliki dua kegembiraan, yakni kegembiraan ketika berbuka dan kegembiraan ketika menghadap Rabbnya. Sungguh bau mulut orang ysang sedang berpuasa itu dalam pandangan Allah lebih harum dari minyak kesturi. Puasa adalah perisai. Jika seseorang sedang puasa, janganlah ia berbuat atau berkata yang tidak senonoh. Jika ada seseorang yang memakinya, hendaklah ia mengatakan : Maaf aku sedang puasa. (HR Bukhari-Muslim)
Bulan suci ramadhan adalah bulan yang sangat baik bagi kita berintrospeksi diri. Adanya komitmen untuk bisa menjauhkan diri dari segala macam keburukan dan kelemahan serta menggantinya dengan terus menerus mengupayakan kesucian diri dan banyak mengerjakan amal kebajikan akan dapat meningkatkan kedekatan hubungan dengan Allah SWT. Insya Allah dengan mengikuti sunnah Rasulullah SAW, jalan menuju keridhoan Tuhan semakin terbuka lebar. Wa Allah a’lamu bi ash-shawab




Selengkapnya...

Minggu, 27 Juli 2008

Who is Allah?


Who is Allah?

''Listen, O those who can, to what God desires from you. And what He desires is only that you become solely His and do not associate any partners with Him, neither in the heavens nor on the earth. Our God is that God who is alive even now as He was alive before.



He speaks even now as He used to speak before. And even now He hears as He used to hear earlier. It is a false notion that in these times He does hear but does not speak. But He hears and speaks, too. All His Attributes are eternal and everlasting. None of His Attributes is in abeyance, nor will it ever be. He is the One without any associate Who has no son, nor has He any wife. He alone is the peerless Who has no one like Him. And He is the One Who is unique in that none of His Attributes are exclusively possessed by anyone besides Him. He is the One Who has no equal. He is the One Who has no one to share with Him His Attributes. And He is the One no Power of Whose is less than perfect. He is near, though He is far and He is far, though He is near.

He can reveal Himself to Ahl-e-Kashf in personification, but He has no body, nor any shape. He is above all, but it cannot be said that there is anything beneath Him. He is on 'Arsh, but it can't be said that He is not on the earth. He is the sum total of all Perfect Attributes and He is the Manifestation of every True Praise. He is the source of all that is Good and encompasses all Powers and He is the source of all Beneficences. He is the One to Whom everything returns. He is the Lord of all realms. He possesses every Perfection and is free from all defects, imperfections and weakness. It is His sole prerogative that all those who belong to the earth as well as all those who belong to the heavens should worship Him.

As far as He is concerned nothing is impossible for Him. All souls and their potentialities, and all particles and their potentials are His and only His creation. Nothing comes into existence without His agency. As for Him He reveals Himself through His Powers, His Omnipotence and His Signs. We can attain Him only through Him. He always reveals His Person to the righteous and shows them His Omnipotence—and this is the only means by which He is recognized and by which that way is recognized which is favoured by Him. He sees without physical eyes and hears without physical ears and speaks without a physical tongue. Likewise it is His work to bring a thing into existence from nothingness.

For example, in the visions of dream you see how He creates a world without matter and shows you every mortal and nonexistent being as having existence. Thus are all His Powers. Ignorant is he who denies His Powers. Blind is he who has no knowledge of His profound and inconceivable Powers. He can, and does, everything that He intends to, except those things which violate His Majesty or which are in conflict with His Promises and Verdicts. He is unique in His Being, in His Attributes, in His Actions and in His Powers.

All doors to reach Him are closed except the one door which the Noble Qur'an has opened. And all Prophethoods and all Books of the past are such as now there is no need left to follow them independently. Because the Prophethood of Muhammad (sa) comprises them all and encompasses them all. And except it [the Prophethood of Muhammad (as) ] all routes to God are closed. Each and every truth which leads to God is in it alone. Neither any truth will come after this, nor there was a truth which is not present in it. And for this reason all Prophethoods have ended with this Prophethood. And so it should have been: for a thing which has a beginning must also have an end. But this Prophethood of Muhammad (sa) in its intrinsic beneficence is not deficient. Rather its beneficence far surpasses the beneficence of other prophethoods. Following the Prophethood of Muhammad (sa) is the easiest route through which one can reach God. Obedience to it wins greater gifts of Divine love and Divine communion than ever before.''



Selengkapnya...

Kamis, 10 Juli 2008

Jadikan Toleransi sebagai Modal

Oleh M Zaid wahyudi

Para pendiri bangsa telah menciptakan Indonesia sebagai negara yang masyarakatnya penuh toleransi dengan menjadikan Pancasila dan UUD 1945 sebagai asas dan pedoman hidup bersama.



Keragaman identitas bangsa Indonesia yang sejak awal disadari pendiri bangsa itu kini mulai dinafikan seiring dengan perkembangan dunia yang semakin mengglobal dan kepemimpinan bangsa yang lemah.

Bagi Zuhairi Misrawi, Koordinator Program Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat, modal toleransi yang telah dikukuhkan itu masih menjadi toleransi yang pasif. Sebuah bentuk toleransi yang hanya didasari pada kepentingan bersama untuk hidup damai dan harmonis di antara perbedaan agama, ras, suku, budaya, dan bahasa.

Namun, itu saja tidak cukup. Toleransi pasif harus dikembangkan menjadi toleransi yang aktif. Kebersamaan yang telah terwujud harus menjadi modal dan jembatan untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan sejahtera.

”Toleransi mampu mewujudkan demokrasi dan menyelamatkan bangsa dari keterpurukan dan kemiskinan,” katanya. Toleransi harus menjadi spirit untuk menyelesaikan berbagai masalah sosial, politik, dan budaya yang menjerat bangsa Indonesia.

Intoleransi

Namun, kini mulai terjadi kemunduran atas rasa dan semangat kebersamaan yang sudah dibangun. Intoleransi menebal yang ditandai dengan meningkatnya rasa benci dan saling curiga di antara sesama anak bangsa.

Hegemoni mayoritas atas minoritas semakin menebal, menggantikan kasih sayang, tenggang rasa, dan semangat untuk berbagi. Kualitas, visi, dan filosofi mulai dikalahkan oleh kuantitas, arogansi, dan provokasi.

Intoleransi muncul akibat hilangnya komitmen politik untuk menjadikan toleransi sebagai jalan keluar mengatasi berbagai persoalan yang membuat bangsa terpuruk. Bangsa Indonesia tak yakin toleransi mampu menjadi solusi atas problematika hidup berbangsa dan bernegara.

Dalam perspektif keagamaan, semua kelompok agama belum yakin bahwa nilai dasar dari setiap agama adalah toleransi. Akibatnya, yang muncul adalah kecenderungan intoleransi dan konflik.

”Padahal, agama bisa menjadi energi positif untuk membangun nilai toleransi guna mewujudkan negara yang adil dan sejahtera,” ujarnya.

Berbagai perkembangan politik, sosial, dan ekonomi global turut memengaruhi menguatnya intoleransi di Indonesia. Sikap konsumtif masyarakat, termasuk dalam pemikiran, membuat bangsa lebih yakin dengan nilai dan ajaran dari luar negeri dibandingkan dengan kemampuan bangsa sendiri untuk menciptakan nilai yang pas bagi bangsa.

Potensi Indonesia

Dibandingkan dengan negara lain, Indonesia sebenarnya relatif lebih toleran karena Indonesia memiliki kesepakatan politik dan peraturan yang mengatur tentang toleransi. Namun, kebijakan toleransi itu tidak ditopang dengan nilai toleransi yang cukup. Akibatnya, kesetaraan dan kesempatan yang sama untuk membangun bangsa belum dirasakan seluruh anak bangsa.

Jika menguatnya intoleransi tidak segara diatasi negara, Indonesia dapat menjadi negara zero tolerance yang menafikan keragaman. Berbagai peradaban dunia telah membuktikan pengabaian toleransi dalam kehidupan berbangsa dan kegagalan kebijakan politik melindungi keragaman negara dapat menjadikannya sebagai negara gagal.

Namun, sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia dan mampu menjalankan prinsip-prinsip demokrasi secara damai, Indonesia memiliki modal yang besar untuk mengembangkan pemikiran keagamaan yang konstruktif bagi demokrasi dan toleransi. Ditambah dengan nilai budaya yang beragam, Indonesia dapat menjadi produsen pemikiran Islam moderat dan dakwah yang damai.

Kesempatan itu semakin besar akibat kegagalan negara-negara Barat dalam mengembangkan demokrasi dan toleransi. Klaim atas kebenaran dan kebencian kelompok mayoritas atas minoritas semakin menguat seiring dengan gencarnya perang melawan terorisme global.

Di negara-negara Muslim sendiri, semangat untuk menghargai kelompok lain justru semakin berkurang. Sebagian besar negara Muslim juga masih disibukkan oleh persoalan-persoalan domestik yang mengekang kemajuan yang didambakan.

”Model keislaman di Indonesia yang berhasil membangun demokrasi dalam tataran nilai dan praktis mulai dilirik masyarakat global,” katanya.

Indonesia memiliki institusi mandiri yang mampu menyokong pengembangan pemikiran agama yang moderat. Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah sebagai organisasi sosial keagamaan yang memiliki visi kebangsaan yang kuat dapat memainkan perannya.

Pesantren-pesantren yang dimiliki NU serta sekolah-sekolah yang dimiliki Muhammadiyah dapat menjadi basis pengembangan pemikiran yang tidak hanya mengajarkan hal-hal yang bersifat doktrinal, tetapi juga sejarah, filsafat, dan norma keagamaan. Jika nilai-nilai keagamaan yang dikembangkan lembaga- lembaga itu dirumuskan dalam konteks modern, maka nilai-nilai itu akan menjadi sedekah yang sangat berarti dari umat Islam Indonesia bagi dunia.

Mayoritas-minoritas

Persoalan mayoritas-minoritas selalu mengemuka saat membincangkan toleransi. Namun, hal ini dapat diatasi jika prinsip kesetaraan dikedepankan.

Kesetaraan akan terwujud jika dilandasi semangat keterbukaan yang akan membuka wawasan dan hati serta menghilangkan kebencian dan kecurigaan terhadap pihak lain. Kesetaraan juga akan tercapai jika tiap pihak mengakui perbedaan dengan yang lain.

Negara sebenarnya memiliki tanggung jawab terbesar untuk mewujudkan kesetaraan di antara seluruh warganya. Namun, peran ini belum dijalankan negara dan justru diperankan oleh kelompok masyarakat madani.

Keyakinan Zuhairi atas prinsip kesamaan manusia tanpa memandang identitas tak terlepas dari pendidikannya di pesantren. Pengasuh Pondok Pesantren Al Amien, Prenduan, Sumenep, KH Muhammad Idris Jauhari, selalu mengajarnya untuk bebas berpikir dan belajar.

Pergaulannya dengan berbagai kelompok masyarakat lintas agama dan bangsa semakin membuka cakrawalanya akan arti penting toleransi.


M Zaid wahyudi

Selengkapnya...

Kamis, 03 Juli 2008

Comparing the Ahmadiyah and the Hizbut Tahrir

Comparing the Ahmadiyah and the Hizbut Tahrir
Bramantyo Prijosusilo , Ngawi, East Java

Followers of Ahmadiyah believe their leaders are rightly guided Caliphs and their congregations of faithfuls constitute a Caliphate. The Hizb ut Tahrir al Islami (the Islamic Party of Liberation, HT for short) is also preoccupied with the idea of a Caliphate, a State with its own constitution, armed forces and geographical boundaries.


Where as the Ahmadiyah seek to convert people into believing in the Ahmadi version of Islam, which maintains Mirza Gulam Ahmad was the promised Messiah, the HT also attempts to convert people into believing their own version of Islam, which prescribes the struggle to establish a physical Caliphate as a wajib, or fundamental obligation, for Muslims. Both peculiarities are unique to their groups and represent a 'deviation' from the traditional mainstream Islamic thought. HT was founded in 1953 in Jerusalem by Taqiuddin al-Nabhani, and is banned in many Islamic countries but has supporters in high places in Jakarta. Ahmadiyah is also banned in many countries and has no open supporters among the elite in Indonesia.

Although Islamic traditions state the Messiah will descend sometime before the end of the world, not many Muslims believe he has already arrived and departed in the form of Mirza Gulam Ahmad in India before its partition.

Similarly, although Islamic tradition does note early Muslims after the death of the Prophet were organized under the banner of a Caliphate, most Muslims also believe the establishing of a Caliphate is not a religious duty, and that any form of State is fine as long as it promotes justice and allows the practices of Islam and doesn't prosecute Muslims because of their faith.

Most modern Muslims believe secular democracy is better than any form of government yet invented and refer to the process of electing Abu Bakar as the first Caliph after the Prophet's death as the precedence for democracy in Islam.

Of course, there are some fundamental differences between the Ahmadiyah and the HT. The main difference is the HT aims to establish a political Caliphate.

Everywhere the HT is active, it denounces democracy as a Western vice. A glance through HT websites impresses upon the reader a hatred for Jews and the West, who are portrayed as evil controllers of the world that can only be dealt with through the establishment of a Caliphate. In contrast, the Ahmadiyah websites proclaim their motto "Love for all, hatred for none" and do not aim to overthrow any government or form any State whatsoever.

Both the Ahmadiyah and the HT are prosecuted and banned in many countries, but for different reasons. The HT is banned in many Middle Eastern countries because it is hostile toward the governments and aims to overthrow the State. In some European Union countries, the HT is banned because it breeds anti-Semitic and extremist views, and several European terrorists were found to have links to the HT and to possess substantial amounts of HT literature. The Ahmadiyah are banned in some Islamic countries because they are judged as deviating from 'true' Islam, especially in their faith in Mirza Gulam Ahmad being the promised Messiah.

In Indonesia, the MUI organization of clerics has called for the Ahmadiyah to be banned, and several Islamic organizations have viciously attacked and closed down Ahmadiyah mosques. The Indonesian chapter of the HT, in contrast, enjoys tacit support from some ministers and overt support from hard organizations.

One might be tempted to ask, if Ahmadiyah preaches love for all and hatred for no one, and HT preaches hatred for democracy and calls for the overthrow of existing States, why is it that in Indonesia, the establishment is more worried about Ahmadiyah than it is concerned about the anti-democracy ideology of the HT? Why are there cabinet ministers who overtly and tacitly support the anti-democracy, theocratic, ideology that aims to overthrow the State to replace it with their version of a Caliphate? Does that not sound like hypocrisy?

Further more, one might want to examine whether HT's version of establishing a Caliphate is truly as Islamic as they claim. Though HT activists are taught their strategy is to follow the example of the Prophet, many ex-activists, such as the British writer Ed Husain have pointed out that HT has a lot to thank Lenin and Trotsky for. While Muhammad taught a religion, HT seeks political power using Leninist methods. The HT goes on and adopts a Trotskyist, internationalist vision.

Maybe because Lenin's thoughts have for decades been banned here, no one has actually pointed out the Leninism in HT's methods, because no one is sure what Leninism is. The HT seeks, just like the Bolsheviks, to firstly develop a core of firm believers that communicate clear and simple slogans to the masses, and when the time ripens, one day seize power and establish their Caliphate (Soviet).

Then from that Caliphate, like falling dominoes, their ideology will spread throughout Islamdom. Eventually the Caliphate will convert the whole world through jihad and da'wah. Just because they wrap their Leninist ideas in Islamic jargon it doesn't mean that Leninism isn't there. The rank and file of the HT is unlikely to be aware of their debt to Lenin but a debt there certainly is.

Both the Ahmadiyah and HT seek to convert people to believing their version of Islam, but while the first is concerned with the spiritual aspect of life, the second is concerned with the political aspect. One would be happy to see the Republic of Indonesia prosper and flourish, while the other would succeed only once it had overthrown the Republic and established a Caliphate in its place. Which is more dangerous for the nation? Lihat yang Asli

Selengkapnya...

Blog Ahmadiyah Difitnah

Islam Agama Damai

Islam Agama Damai
Pidato tentang Islam Agama damai di hadapan anggota Parlemen Eropa

Pembacaan Al-Quran di Parlemen Eropa

Pembacaan Al-Quran di Parlemen Eropa
Melalui Perjuangan Islam Ahmadiyah, Al-Quran dilantunkan di hadapan Parlemen Eropa

MTA Internasional

MTA Internasional
Televisi Nuansa Islami

Esensi Ajaran Islam

Hazrat Mirza Ghulam Ahmad : "Berbelas-kasihlah kepada sesama hamba-Nya. Janganlah berbuat aniaya terhadap mereka, baik dengan mulutmu atau dengan tanganmu, maupun dengan cara-cara lain. readmore

Warta Ahmadiyah

Apakah Ahmadiyah Itu

snapshot

About Me


chkme

SEO Reports for surga-mu.blogspot.com

Website Perdamaian

 

Copyright © 2009 by Ajaran Islam