Senin, 07 September 2009

Ibadah Puasa, Medium Toleransi Berbasis Iman

Paulus Shenouda III, pemimpin tertinggi Kristen Koptik Alexandria, Mesir menulis sebuah artikel tentang puasa di harian
al-Ahram, Mesir (16/9) tentang al-Shawm: Syurutuhu wa fawaiduhu (Puasa: Syarat-syarat dan manfaatnya).

Ia menulis, "Dari hati yang terdalam, saya mengucapkan selamat berpuasa bagi umat Islam di Mesir dan seluruh penjuru
dunia Islam. Yang mana puasa telah merekatkan hati kita, lebih-lebih mendekatkan hati kita dengan Allah.
Mudah-mudahan puasa kita diterima dan diberkahi Allah."

Ucapan itu betul-betul menyentuh relung hati terdalam. Di satu sisi semakin membenarkan firman Tuhan di dalam
al-Quran, bahwa puasa merupakan tradisi agama-agama sebelum Islam. Puasa merupakan medium untuk mencapai
singgasana ketakwaan. Puasa adalah medium toleransi (QS al-Baqarah [2]: 183).

Paulus Shenouda menulis dengan sangat baik tentang hakikat puasa dan maknanya bagi kehidupan sehari-hari. Menurut
dia, puasa pada hakikatnya bukanlah ritual yang membawa keutamaan pada jasad jasmani. Keutamaan puasa terletak
pada upaya seseorang untuk meninggalkan ketamakan duniawi menuju keutamaan ruhani. Dengan demikian, puasa
bukanlah menahan lapar belaka. Puasa lebih dari itu, itu jalan menuju asketisme batin.

Di sini, bilamana seseorang dalam puasanya tidak mencapai puncak hakikat, sesungguhnya ia belum memahami esensi
puasa. Pernyataan Paulus Shenouda di atas menemukan momentumnya dalam tradisi Islam. Dalam sebuah hadisnya,
Nabi Muhammad SAW senantiasa mengingatkan umatnya agar mengenali dan memahami esensi puasa. Ia bersabda,
Berapa banyak orang berpuasa, tapi puasanya hanya sekadar menahan lapar dan dahaga.

Hadis itu sebenarnya ingin mengatakan, sumber segala masalah adalah ketamakan dunia. Berapa banyak masalah
kemanusiaan yang disebabkan oleh ketamakan akan kekuasaan dan kekayaan. Sebab itu, puasa harus mampu
melampaui ketamakan menuju kebersihan dan kepuasan batin.

Pada hakikatnya ketamakan duniawi tidak akan ada batasnya. Sementara kepuasan batin akan mampu dicapai setelah
mampu melakukan olahbatin, seperti puasa. Puasa akan mengingatkan dan menyadarkan setiap makhluk Tuhan tentang
adanya "yang lain" yang lebih penting daripada "aku" yang tamak dan rakus.

Pertobatan

Di sini, puasa merupakan ajaran yang sangat esensial dalam agama-agama. Sebab agama-agama hadir dalam rangka
melawan ketamakan duniawi yang dilakukan penguasa-penguasa diktator. Yahudi, Kristen dan Islam adalah
agama-agama yang hadir untuk membela kemanusiaan dan melawan ketidakadilan, ketamakan, dan kebiadaban yang
dilakukan penguasa pada zamannya.

Karen Armstrong menyatakan agama-agama merupakan transformasi agung (the great transformation), yang membawa
ajaran tentang kemanusiaan, keadilan, dan perdamaian. Masalahnya, pemeluk agama sering kali lupa akan esensi dari
agama mereka, yaitu dengan cara menjadikan agama sebagai justifikasi dan legitimasi bagi kepentingan mereka. Karena
itu, pada akhirnya agama jauh dari poros aksisnya.

Shenouda menambahkan dalam tulisannya, puasa tidak akan sempurna bilamana tidak disertai dengan pertobatan.
Bilama seseorang yang berpuasa sudah mampu memahami hakikat puasa, ia akan melakukan pertobatan. Di sini, salah
satu buah dari puasa adalah kejernihan pikiran dan hati-nurani. Puasa akan menyegarkan dan mencerahkan pikiran dan
hati-nurani, sehingga mampu menjadi oase bagi upaya pembangunan masyarakat yang mempunyai keadaban dan
peradaban adiluhung.

Puncaknya, puasa akan mampu membangun kesadaran tentang pentingnya membantu kaum lemah, meningkatkan
kebaikan dan mengetuk pintu sedekah. Setelah puasa naik ke singgasana nilai-nilai ketuhanan, pada akhirnya puasa
turun ke bumi untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan.

Dalam hal ini, puasa mempunyai keutamaan yang luar biasa. Puasa dapat menjadi salah satu harapan untuk
memperbaiki rapuhnya tatanan kemanusiaan. Di tengah menguatnya ambisi kepentingan yang berbasis bendera
kelompok dan golongan tertentu, puasa diharapkan dapat menjadi kunci utama bagi terbentuknya kesadaran tentang
adanya "yang lain".

Shenouda telah menjadi salah satu contoh penting bagi tafsir otentik terhadap pilar agama. Puasa merupakan common
platform di antara agama-agama agar saling mengingatkan tentang esensi di balik ajaran yang terdapat dalam setiap
agama.

Tradisi Toleransi

Apa yang dilakukan Shenouda dalam tulisannya di atas bukanlah hal baru. Bagi masyarakat Mesir hal itu sudah menjadi
bagian integral dari relasi antaragama. Sudah menjadi tradisi, setiap bulan puasa, pemuka Kristiani khususnya kalangan
Koptik, mengundang kalangan Muslim untuk berbuka puasa di gereja. Begitu pula gayung bersambut dilakukan kalangan
Muslim, yaitu dengan cara mengundang kalangan non-Muslim untuk ikut menyemarakkan acara kebudayaan islami,
seperti forum dialog ilmiah (al-muntada al-tsaqafi), yang biasanya dilaksanakan oleh kementerian urusan wakaf. Tradisi
toleransi semacam ini telah menjadi khazanah kultural yang dapat menjadi batu-bata bagi kukuhnya bangunan toleransi di
Mesir.

Di sini tesis yang menyatakan, pemuka agama merupakan manifestasi dari umat betul-betul menemukan momentumnya.
Pemuka agama merupakan teladan bagi toleransi di tengah keragaman umat. Toleransi pada hakikatnya merupakan
ajaran yang inheren dalam setiap agama, karenanya tidak perlu dikhawatirkan bilamana muncul hubungan dialogis antara
agama-agama. Justru sebaliknya, yang harus dikhawatirkan adalah bilamana agama-agama selalu dikonfrontasikan
dengan dalih sejarah dan pandangan abad kegelapan.

Belajar dari Mesir, tradisi toleransi yang sudah mendarah-daging membuat mereka tidak perlu payung peraturan untuk
membangun toleransi. Sebab esensi agama-agama bukanlah institusi atau kulit luar dari agama, melainkan ajaran-
ajaran yang terkandung di dalamnya.

Di Tanah Air, tradisi toleransi yang bersifat praksis sebagaimana ditunjukkan Paulus Shenouda III di atas, telah mulai
dirintis Sinta Nuriyah. Dengan pelbagai kalangan Kristiani di Bandung, Jawa Barat, ia dundang untuk acara buka bersama
mereka. Hal itu menjadi tanda baik bagi tumbuhnya benih-benih toleransi di masa mendatang. Sebab cara yang demikian
makin memberikan pencerahan pada publik, bahwa dengan puasa keinginan untuk membangun kerukunan dan toleransi
sebenarnya harus senantiasa tumbuh. Puasa pada intinya ingin membangun kesadaran tentang pentingnya menyadari
perbedaan dan melampauinya untuk membangun praksis toleransi.

Dengan demikian, memaknai puasa harus mampu diinternalisasi dalam kehidupan nyata, terutama dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Dalam sebuah negara yang dihuni beragam agama, suku dan afiliasi politik, ajaran spesifik
keagamaan seperti puasa harus mampu menggugah kesadaran publik tentang pentingnya toleransi dalam rangaka
membangun pemahaman yang baik tentang pentingnya pluralisme di dalam negara yang menjunjung tinggi persamaan.

Toleransi berbasis iman seperti nilai-nilai adiluhung puasa akan semakin menyadarkan kita semua, bahwa
agama-agama harus bergandengan tangan untuk mengambil faedah yang sebanyak-banyaknya dari setiap pilar
ajarannya. Lebih-lebih dalam ajaran yang juga dianut dan dilakukan agama-agama lain.

Paulus Shenouda III memberikan teladan baik pada kita, pada hakikatnya agama-agama mempunyai kesamaan visi
tentang pentingnya menjadikan agama sebagai elan vital bagi terwujudnya kemanusiaan di tengah-tengah keragaman
publik.

Toleransi adalah ajaran yang mendarah-daging dalam agama-agama. Sebab itu, tugas setiap agamawan yaitu menggali
ajaran toleransi sebanyak dan sesering mungkin, sehingga pelbagai konflik dan kebencian yang kerap kali digunakan
sebagian kelompok yang mengatasnamakan agama dapat diatasi dengan menggunakan tradisi dan doktrin yang terdapat
di dalam agama. Dengan demikian, agama dapat men-jadi jalan menuju pembebasan dari pandangan dan sikap
intoleran.

Oleh: Zuhairi Misrawi
Penulis adalah Direktur Moderate Muslim Society (MMS); buku terbarunyayang akan terbit, Al-Quran Kitab Toleransi:
Inklusivisme, Pluralisme dan Multikulturalisme

sumber: http://www.suarapembaruan.com/News/2007/09/20/Editor/edit01.htm

Selengkapnya...

Jumat, 08 Mei 2009

Jadikan Toleransi Sebagai Modal

Para pendiri bangsa telah menciptakan Indonesia sebagai negara yang masyarakatnya penuh toleransi dengan menjadikan Pancasila dan UUD 1945 sebagai asas dan pedoman hidup bersama.

Keragaman identitas bangsa Indonesia yang sejak awal disadari pendiri bangsa itu kini mulai dinafikan seiring dengan perkembangan dunia yang semakin mengglobal dan kepemimpinan bangsa yang lemah.

Bagi Zuhairi Misrawi, Koordinator Program Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat, modal toleransi yang telah dikukuhkan itu masih menjadi toleransi yang pasif. Sebuah bentuk toleransi yang hanya didasari pada kepentingan bersama untuk hidup damai dan harmonis di antara perbedaan agama, ras, suku, budaya, dan bahasa.

Namun, itu saja tidak cukup. Toleransi pasif harus dikembangkan menjadi toleransi yang aktif. Kebersamaan yang telah terwujud harus menjadi modal dan jembatan untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan sejahtera.

”Toleransi mampu mewujudkan demokrasi dan menyelamatkan bangsa dari keterpurukan dan kemiskinan,” katanya. Toleransi harus menjadi spirit untuk menyelesaikan berbagai masalah sosial, politik, dan budaya yang menjerat bangsa Indonesia.

Intoleransi

Namun, kini mulai terjadi kemunduran atas rasa dan semangat kebersamaan yang sudah dibangun. Intoleransi menebal yang ditandai dengan meningkatnya rasa benci dan saling curiga di antara sesama anak bangsa.

Hegemoni mayoritas atas minoritas semakin menebal, menggantikan kasih sayang, tenggang rasa, dan semangat untuk berbagi. Kualitas, visi, dan filosofi mulai dikalahkan oleh kuantitas, arogansi, dan provokasi.

Intoleransi muncul akibat hilangnya komitmen politik untuk menjadikan toleransi sebagai jalan keluar mengatasi berbagai persoalan yang membuat bangsa terpuruk. Bangsa Indonesia tak yakin toleransi mampu menjadi solusi atas problematika hidup berbangsa dan bernegara.

Dalam perspektif keagamaan, semua kelompok agama belum yakin bahwa nilai dasar dari setiap agama adalah toleransi. Akibatnya, yang muncul adalah kecenderungan intoleransi dan konflik.

”Padahal, agama bisa menjadi energi positif untuk membangun nilai toleransi guna mewujudkan negara yang adil dan sejahtera,” ujarnya.

Berbagai perkembangan politik, sosial, dan ekonomi global turut memengaruhi menguatnya intoleransi di Indonesia. Sikap konsumtif masyarakat, termasuk dalam pemikiran, membuat bangsa lebih yakin dengan nilai dan ajaran dari luar negeri dibandingkan dengan kemampuan bangsa sendiri untuk menciptakan nilai yang pas bagi bangsa.

Potensi Indonesia

Dibandingkan dengan negara lain, Indonesia sebenarnya relatif lebih toleran karena Indonesia memiliki kesepakatan politik dan peraturan yang mengatur tentang toleransi. Namun, kebijakan toleransi itu tidak ditopang dengan nilai toleransi yang cukup. Akibatnya, kesetaraan dan kesempatan yang sama untuk membangun bangsa belum dirasakan seluruh anak bangsa.

Jika menguatnya intoleransi tidak segara diatasi negara, Indonesia dapat menjadi negara zero tolerance yang menafikan keragaman. Berbagai peradaban dunia telah membuktikan pengabaian toleransi dalam kehidupan berbangsa dan kegagalan kebijakan politik melindungi keragaman negara dapat menjadikannya sebagai negara gagal.

Namun, sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia dan mampu menjalankan prinsip-prinsip demokrasi secara damai, Indonesia memiliki modal yang besar untuk mengembangkan pemikiran keagamaan yang konstruktif bagi demokrasi dan toleransi. Ditambah dengan nilai budaya yang beragam, Indonesia dapat menjadi produsen pemikiran Islam moderat dan dakwah yang damai.

Kesempatan itu semakin besar akibat kegagalan negara-negara Barat dalam mengembangkan demokrasi dan toleransi. Klaim atas kebenaran dan kebencian kelompok mayoritas atas minoritas semakin menguat seiring dengan gencarnya perang melawan terorisme global.

Di negara-negara Muslim sendiri, semangat untuk menghargai kelompok lain justru semakin berkurang. Sebagian besar negara Muslim juga masih disibukkan oleh persoalan-persoalan domestik yang mengekang kemajuan yang didambakan.

”Model keislaman di Indonesia yang berhasil membangun demokrasi dalam tataran nilai dan praktis mulai dilirik masyarakat global,” katanya.

Indonesia memiliki institusi mandiri yang mampu menyokong pengembangan pemikiran agama yang moderat. Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah sebagai organisasi sosial keagamaan yang memiliki visi kebangsaan yang kuat dapat memainkan perannya.

Pesantren-pesantren yang dimiliki NU serta sekolah-sekolah yang dimiliki Muhammadiyah dapat menjadi basis pengembangan pemikiran yang tidak hanya mengajarkan hal-hal yang bersifat doktrinal, tetapi juga sejarah, filsafat, dan norma keagamaan. Jika nilai-nilai keagamaan yang dikembangkan lembaga- lembaga itu dirumuskan dalam konteks modern, maka nilai-nilai itu akan menjadi sedekah yang sangat berarti dari umat Islam Indonesia bagi dunia.

Mayoritas-minoritas

Persoalan mayoritas-minoritas selalu mengemuka saat membincangkan toleransi. Namun, hal ini dapat diatasi jika prinsip kesetaraan dikedepankan.

Kesetaraan akan terwujud jika dilandasi semangat keterbukaan yang akan membuka wawasan dan hati serta menghilangkan kebencian dan kecurigaan terhadap pihak lain. Kesetaraan juga akan tercapai jika tiap pihak mengakui perbedaan dengan yang lain.

Negara sebenarnya memiliki tanggung jawab terbesar untuk mewujudkan kesetaraan di antara seluruh warganya. Namun, peran ini belum dijalankan negara dan justru diperankan oleh kelompok masyarakat madani.

Keyakinan Zuhairi atas prinsip kesamaan manusia tanpa memandang identitas tak terlepas dari pendidikannya di pesantren. Pengasuh Pondok Pesantren Al Amien, Prenduan, Sumenep, KH Muhammad Idris Jauhari, selalu mengajarnya untuk bebas berpikir dan belajar.

Pergaulannya dengan berbagai kelompok masyarakat lintas agama dan bangsa semakin membuka cakrawalanya akan arti penting toleransi.



Selengkapnya...

Who is Allah?

''Listen, O those who can, to what God desires from you. And what He desires is only that you become solely His and do not associate any partners with Him, neither in the heavens nor on the earth. Our God is that God who is alive even now as He was alive before.



He speaks even now as He used to speak before. And even now He hears as He used to hear earlier. It is a false notion that in these times He does hear but does not speak. But He hears and speaks, too. All His Attributes are eternal and everlasting. None of His Attributes is in abeyance, nor will it ever be. He is the One without any associate Who has no son, nor has He any wife. He alone is the peerless Who has no one like Him. And He is the One Who is unique in that none of His Attributes are exclusively possessed by anyone besides Him. He is the One Who has no equal. He is the One Who has no one to share with Him His Attributes. And He is the One no Power of Whose is less than perfect. He is near, though He is far and He is far, though He is near.

He can reveal Himself to Ahl-e-Kashf in personification, but He has no body, nor any shape. He is above all, but it cannot be said that there is anything beneath Him. He is on 'Arsh, but it can't be said that He is not on the earth. He is the sum total of all Perfect Attributes and He is the Manifestation of every True Praise. He is the source of all that is Good and encompasses all Powers and He is the source of all Beneficences. He is the One to Whom everything returns. He is the Lord of all realms. He possesses every Perfection and is free from all defects, imperfections and weakness. It is His sole prerogative that all those who belong to the earth as well as all those who belong to the heavens should worship Him.

As far as He is concerned nothing is impossible for Him. All souls and their potentialities, and all particles and their potentials are His and only His creation. Nothing comes into existence without His agency. As for Him He reveals Himself through His Powers, His Omnipotence and His Signs. We can attain Him only through Him. He always reveals His Person to the righteous and shows them His Omnipotence—and this is the only means by which He is recognized and by which that way is recognized which is favoured by Him. He sees without physical eyes and hears without physical ears and speaks without a physical tongue. Likewise it is His work to bring a thing into existence from nothingness.

For example, in the visions of dream you see how He creates a world without matter and shows you every mortal and nonexistent being as having existence. Thus are all His Powers. Ignorant is he who denies His Powers. Blind is he who has no knowledge of His profound and inconceivable Powers. He can, and does, everything that He intends to, except those things which violate His Majesty or which are in conflict with His Promises and Verdicts. He is unique in His Being, in His Attributes, in His Actions and in His Powers.

All doors to reach Him are closed except the one door which the Noble Qur'an has opened. And all Prophethoods and all Books of the past are such as now there is no need left to follow them independently. Because the Prophethood of Muhammad (sa) comprises them all and encompasses them all. And except it [the Prophethood of Muhammad (as) ] all routes to God are closed. Each and every truth which leads to God is in it alone. Neither any truth will come after this, nor there was a truth which is not present in it. And for this reason all Prophethoods have ended with this Prophethood. And so it should have been: for a thing which has a beginning must also have an end. But this Prophethood of Muhammad (sa) in its intrinsic beneficence is not deficient. Rather its beneficence far surpasses the beneficence of other prophethoods. Following the Prophethood of Muhammad (sa) is the easiest route through which one can reach God. Obedience to it wins greater gifts of Divine love and Divine communion than ever before.''

Selengkapnya...

Jumat, 01 Mei 2009

Islam

“ISLAM”, adalah sebuah nama yang diberikan oleh Allah kepada agama ini (Quran 5:4), kata Islam berasal dari kosakata Arab yang secara harfiah berarti ketaatan dan damai. ISLAM berasal dari akar kata "SALIMA": damai, kesucian, ketundukan dan ketaatan. Jadi 'Islam' itu berarti jalan orang-orang yang taat kepada Allah dan yang membuat perdamaian dengan Allah dan makhluk-Nya. Yang disebut Muslim.



Islam bukanlah sebuah agama baru. Pesan islam pada dasarnya adalah pesan yang sama dengan pesan dan bimbingan Allah yang telah diturunkan kepada semua nabi sebelum Nabi Muhammad shollallahu ‘alihi wa sallam.
Allah Taala berfirman di dalam Al-Quran: "Katakanlah,` Kami beriman kepada ALLAH dan apa yang telah diturunkan kepada kami, dan kepada apa yang diturunkan kepada Ibrahim dan Ismail dan Ishak dan Yakub dan keturunannya, dan apa yang diberikan kepada Musa dan Isa dan sekalian nabi dari Tuhan mereka . Dan kepadanya kami menyerahkan diri." (Qur'an 3-84)

Selengkapnya...

Blog Ahmadiyah Difitnah

Islam Agama Damai

Islam Agama Damai
Pidato tentang Islam Agama damai di hadapan anggota Parlemen Eropa

Pembacaan Al-Quran di Parlemen Eropa

Pembacaan Al-Quran di Parlemen Eropa
Melalui Perjuangan Islam Ahmadiyah, Al-Quran dilantunkan di hadapan Parlemen Eropa

MTA Internasional

MTA Internasional
Televisi Nuansa Islami

Esensi Ajaran Islam

Hazrat Mirza Ghulam Ahmad : "Berbelas-kasihlah kepada sesama hamba-Nya. Janganlah berbuat aniaya terhadap mereka, baik dengan mulutmu atau dengan tanganmu, maupun dengan cara-cara lain. readmore

Warta Ahmadiyah

Apakah Ahmadiyah Itu

snapshot

About Me


chkme

SEO Reports for surga-mu.blogspot.com

Website Perdamaian

 

Copyright © 2009 by Ajaran Islam