Senin, 25 Agustus 2014

Toleransi Yang Mulai Memudar

Sejak tahun 1995, Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) telah mengukuhkan satu hari sebagai “Hari Toleransi Internasional” yaitu pada tanggal 16 November. Salah satu ruh dari ditetapkannya Hari Toleransi Internasional adalah sebagai upaya untuk mengingatkan dan memberikan pendidikan kepada masyarakat tentang pentingnya toleransi dan dampak negatif dari intoleransi.
Semangat Toleransi Internasional adalah mengajak umat manusia untuk mengakui dan menghargai hak dan keyakinan orang lain serta menyadari betapa ketidak adilan, penindasan, rasisme, diskriminasi, kebenciaan berbasis agama, dan sejenisnya mempunyai dampak yang sangat buruk bagi kehidupan bersama.

Dengan kata lain, melalui toleransi cita-cita untuk mewujudkan peradamaian serta keharmonisan dunia dapat diraih dengan lebih mudah. Bahkan dalam perspektif kebangsaan, toleransi juga dianggap mampu menjadi modal tegaknya demokrasi serta menyelamatkan bangsa dari segala bentuk perpecahan baik yang bersumber dari agama, suku, ras, bahasa dan budaya.
Inteloransi Semakin Menguat
Namun, cita-cita luhur untuk membangun umat manusia yang toleran bukanlah sebuah usaha yang gampang baik di tingkat lokal, nasional maupun internasional. Apalagi dalam suatu masyarakat yang majemuk, masyarakat yang memiliki warna plural dan multikultural. Kesimpulan ini dapat dibuktikan dengan banyak upaya yang telah dilakukan oleh sekelompok orang, negara, maupun antar negara, namun masih belum mencapai tingkat toleransi dimana-mana.
Di negeri ini saja, hampir setiap hari kita disajikan dengan beragam berita mengenai syi’ar-syi’ar kebencian, pengerusakan, tawuran, penyerangan satu kelompok kepada kelompok lain, pembakaran rumah ibadah dan sebagainya. Kondisi tersebut semakin meningkat sehingga menguatkan sebuah kesimpulan bahwa intoleransi semakin kuat, sedangkan toleransi mulai tersingkir.
Intoleransi terkadang terjadi karena adanya ketegangan antar suku, antar kelompok masyarakat, antar lawan politik, dan yang sangat menyedihkan intoleransi lahir atas nama agama.
Agama yang seharusnya menjadi energi positif untuk tegaknya keharmonisan antar umat manusia, malah sering dijadikan bahan bakar untuk menyulut api permusuhan di lapisan masyarakat. Agama yang tadinya diharapkan dapat menyelamatkan umat manusia dari sikap bermusuhan, oleh sebagian orang agama justru dijadikan sebagai alat untuk meruntuhkan nilai-nilai perdamaian, keharmonisan dan keberagaman.
Berdasarkan temuan Setara Institute yang dirilis di Jakarta, Kamis (16/1/2014). Setara mencatat, terdapat 222 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama yang terjadi sepanjang tahun 2013. Terjadinya pelanggaran kebebasan beragama tersebut dinilai akibat dari kurangnya memiliki rasa tolerans terhadap perbedaan identitas agama, keyakinan, tafsiran maupun ritual ibadah keagamaan. Hal ini dikarenakan, ada sebagian kelompok yang mensikapi perbedaan tersebut dengan tindakan kekerasan.
Menyikapi Perbedaan
Oleh sebab itu, perlu dilakukan upaya-upaya yang lebih maksimal dari semua pihak agar masyarakat lebih arif dalam mensikapi perbedaan. Pertama, meyakini perbedaan sebagai suatu keniscayaan hidup, hal ini merupakan elemen penting yang harus disadari oleh setiap kita umat manusia. Berbeda paham adalah suatu realita sosial dan sejarah manusia, bahkan berbeda dalam satu agama sekalipun.
Kedua, lebih mengedepankan nilai-nilai persamaan dalam setiap perbedaan. Sudah menjadi ketetapan Tuhan, bahwa setiap manusia memiliki beragam perbedaan, berbeda kondisi fisik, sifat, pemahaman, suku, bahasa, agama dan lainnya. Namun demikian Tuhan juga telah memberikan kesamaan universal bagi segala ciptaan-Nya. Seseorang yang kerap kali melihat orang lain dari dimensi perbedaan, maka segera dia akan menemukan sejuta perbedaan tersebut. Akan tetapi sebaliknya, jika cara pandangnya dimulai dari nilai-nilai persamaan, maka dia akan dapati bahwa dirinya sama.
Ketiga, strategi lain yang diharapkan mampu menumbuhkan keharmonisan dalam perbedaan adalah melalui sikap mengedepankan budaya dialog yang konstruktif. Upaya positif ini seharusnya disadari oleh semua pemeluk keagamaan. Dengan kata lain, semua umat beragama harus meyakini akan kekuatan dialog dalam menyelesaikan segala bentuk perbedaan.
Tentunya dialog yang dimaksud adalah dialog yang fair dan konstruktif. Kondisi ini akan tercipta jika masing-masing agama saling membuka diri, saling menghormati sambil terus tetap memegang semangat toleransi. Salah satu media dialog yang perlu digagas pada saat sekarang ini adalah diadakannya Konferensi Agama-Agama.
Hadhrat Mirza Tahir Ahmad rh, khalifah ke-empat Jamaah Muslim Ahmadiyah memberikan rumusan mengenai hal ini dalam salah satu karya beliau yang adiluhung, islam’s response to contemporary issues. Bahwa harus ada unsur-unsur utama dari konferensi tersebut, diantaranya;
Semua pembicara diberikan keleluasaan penuh guna mengemukakan semua sisi positif dan menarik dari kepercayaan mereka masing-masing tanpa menjelek-jelekkan agama lainnya. Para pembicara dari suatu agama patut pula kiranya mencoba mencari sisi-sisi baik dari agama lainnya, mengutarakannya dan menjelaskan mengapa ia terkesan karenanya. Pembicara dari masing-masing agama sewajarnya menghormati keagungan dan kebaikan sifat para pemimpin agama lainnya.
Tanpa berprasangka pada apa yang dikemukakan pada point di atas, kesucian dialog keagamaan di antara berbagai sekte dan kepercayaan harus dijaga. Pertukaran pendapat antar agama jangan sampai dikutuk karena ini merupakan sabotase pada kedamaian umat beragama. Guna mempersempit jurang perbedaan dan memperbesar kemungkinan kesepakatan, perlu diberikan batasan agar perdebatan dengan penganut agama lain mengikuti prinsip bahwa semua agama ditelaah sampai ke sumbernya. Karena Al-Quran menyatakan bahwa semua agama mempunyai sumber yang sama.
Keempat, adanya kesepakatan dan komitmen bersama untuk menjadikan Pancasila, Undang-Undang Dasar, Bhineka Tunggal Ika, dan NKRI sebagai instrumen pemersatu dari keberagaman.
Para pendiri bangsa ini (founding fathers) tahu benar bahwa bangsa yang kaya akan budaya, suku, bahasa dan agama ini akan dapat tetap bersatu bila segenap anak bangsa tetap memegang dan menjunjung tinggi keempat pilar tersebut.
Terjadinya berbagai tindakan intoleransi belakangan ini dinilai akibat dari kurang tegasnya pemerintah dalam menegakkan hukum yang sudah ada.
Kelima, upaya berikutnya yang dirasa perlu untuk terus dikerjakan oleh kita dalam rangka menegakkan keharmonisan dalam perbedaan adalah harus ada campur tangan para pemimpin agama. Dalam perspektif sosial, negara ini sebenarnya masih diuntungkan dengan masih kuatnya budaya menghormati para pemimpin agamanya masing-masing.
Potensi positif ini seharusnya dapat dimanfaatkan guna terwujudnya cita-cita luhur keharmonisan dalam keragaman. Riwayat para nabi yang menjadi pembuka dari setiap agama di dunia seharusnya dapat menjadi tauladan bagi kita. Bagaimana beliau-beliau mensikapi segala bentuk perbedaan dengan tetap menjaga nilai-nilai kesantunan, arif bijaksana, toleransi, kasih sayang, ketentraman dan kedamaian di sekelilingnya.
Sejarah keagamaan juga membuktikan bahwa para pelaku intoleransi justru dipromosikan oleh mereka-mereka yang tidak beragama atau yang tidak tahu agama. Lihat saja, kisah kaum nabi Ibrahim yang berusaha membakar nabi Ibrahim as. Juga cerita kaum nabi Nuh, nabi Syu’aib as, nabi Luth as dan lainnya, dimana kaum mereka berkali-kali berusaha mengintimidasi dan menyakiti nabi serta pengikutnya.
Keenam, upaya selanjutnya yang perlu diagendakan adalah edukasi berkelanjutan di lembaga pendidikan, organisasi kemasyarakatan maupun lembaga pemerintahan. Memudarnya sikap menghargai perbedaan dinilai akibat dari minimnya pesan-pesan toleransi diajarkan pada lembaga-lembaga tersebut di atas.
Ketujuh, menghentikan segala bentuk syi’ar-syi’ar kebencian, dalam kaitannya dengan fase ini adalah segala jenis aktivitas yang mengajak orang lain untuk membenci agama, suku atau bangsa lain. Karena lazimnya kebencian itu bermula dari bisikan-bisikan buruk dari yang lain.
Mewujudkan Toleransi Beragama
Karena itu, jika prinsip-prinsip fundamental di atas mampu dihayati dan diamalkan oleh segenap umat manusia dalam kehidupannya masing-masing, pastilah perjuangan toleransi ada dimana-mana akan segera tercapai.
Terlebih lagi toleransi terhadap perbedaan agama, yang menurut penulis menjadi pondasi dari semua pilar toleransi. Karena kehormatan agama terkadang dianggap lebih utama dari segalanya.
Sebagai misal, seseorang yang kurang memahami agamapun akan merasa terpanggil emosionalnya ketika keyakinannya diusik oleh mereka yang berkeyakinan lain darinya. Maka toleransi keagamaan merupakan agenda utama dan pertama yang harus diwujudkan oleh semua. Perwujudan tersebut bisa saja di lingkungan tempat tinggal, sekolah maupun lingkungan kerja.
Nilai Toleransi Universal dalam Ajaran Islam
Sebagai bangsa yang bermayoritas muslim seharusnya bangsa Indonesia dapat menjadi model dalam kehidupan bertoleransi. Karena islam sendiri adalah agama yang paling menghargai nilai-nilai toleransi, keharmonisan, perdamaian dan persatuan.
Ada seperangkat ajaran islam yang setidaknya menguatkan argumentasi tersebut. Pertama, islam mengajarkan konsep keuniversalan yang sempurna mengenai kenabian. Al-Quran mengajarkan bahwa agama-agama yang ada mempunyai sumber yang sama dan mempunyai kebenaran samawi. “Dan sesungguhnya Kami mengutus dalam setiap umat seorang rasul, supaya kamu menyembah Allah swt. dan jauhilah orang yang melampaui batas.(An-Nahl:37).
Demikian juga dalam ayat lain disebutkan, ”Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul sebelum engkau, dari antara mereka ada sebagian yang Kami ceriterakan kepada engkau, dan dari antara mereka ada sebagian yang tidak Kami ceriterakan kepada engkau. ( Al-Mu’min : 79).
Dengan demikian potensi munculnya kebencian kepada agama lain tidak akan pernah ada, selama menganggap bahwa dalam agama lainpun memiliki nilai kebaikan. Atau setidaknya ada semacam perasaan malu untuk menghina agama lain karena menghormati sosok suci pendiri agama tersebut.
Kedua, islam mengajarkan sebuah konsep bahwa keselamatan bukan monopoli salah satu agama. Konsep ini menghilangkan anggapan sebagian orang bahwa “apapun yang mereka lakukan untuk menyenangkan Tuhan, sebesar apapun mereka mencintai Penciptanya dan ciptaanNya, semurni apapun kehidupan mereka, mereka dianggap terkutuk dan masuk neraka abadi selama tidak masuk dalam Islam”.
Allah berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman, dan orang-orang Yahudi, dan orang-orang Sabi, dan orang-orang Nasrani – barangsiapa di antara mereka benar-benar beriman pada Allah dan Hari Kemudian dan beramal saleh, maka tak akan ada ketakutan menimpa mereka tentang yang akan datang dan tidak pula mereka berdukacita tentang yang sudah-sudah”. (S.5 Al-Maidah: 70). Umat islam yang menyadari prinsip agung ini sekali-kali tidak akan pernah mencela maupun menyakiti agama lain.
Ketiga, Al-Quran mengharuskan kepada kita untuk mengakui sebuah kenyataan, bahwa Tuhan sendiri memang telah mengariskan kita hidup dalam keberagaman. “Dan jika Allah swt. menghendaki niscaya Dia akan menjadikan kamu satu umat, akan tetapi Dia hendak menguji kamu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Maka berlomba-lombalah kamu dalam kebaikan Kepada Allah swt. , kamu semua akan kembali, maka Dia akan memberitahukan kepadamu tentang apa-apa yang di dalamnya kamu berselisih” (Al-Maidah : 49). Dalam artian bahwa, jika umat manusia mencoba menodai nilai-nilai perbedaan, maka sama saja dia menentang kehendak illahi.
Untuk melengkapi bagian ini, Al-Quran menerangkan, “Hai manusia, Sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari laki-laki dan perempuan; dan Kami telah menjadikan kamu bangsa-bangsa dan bersuku-suku, supaya kamu dapat saling mengenal. Sesungguhnya, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui, Maha Waspada”.(Al-Hujarat :14).
Pesan dari ayat di atas adalah bahwa nilai keluhuran seorang manusia tidak dilihat dari suku, ras maupun warna kulit, melainkan dinilai berdasarkan kemuliaan akhlaknya dan kedekatannya dengan Tuhan. Standar ini sangat adil, karena tidak ada seorangpun manusia yang dapat menilai dengan pasti kadar ahlak seseorang. Sehingga memungkinkan seseorang untuk lebih menghargai orang lain yang berbeda, karena logikanya “dia bisa saja lebih mulia daripada saya”.
Keempat, Allah berfirman; “Hai Ahli-kitab, marilah kepada satu kalimat yang sama di antara kami dan kamu, bahwa kita tidak menyembah kecuali kepada Allah swt., dan tidak pula kita mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun, dan sebagian yang lain sebagai Tuhan selalin Allah swt..” Tetapi, jika mereka berpaling, maka katakanlah, “Jadilah saksi bahwa kami orang-orang yang menyerahkan diri kepada Tuhan” (Ali-Imran :65).
Pesan mulia dari nash tersebut adalah lahirnya sikap lebih mengedepankan segi-segi persamaan ketimbang perbedaannya kepada siapapun baik yang berbeda agama sekalipun. Kesamaan tersebut bisa saja dalam hal pesan-pesan kebaikan yang diajarkan oleh agama masing-masing atau setidaknya persamaan dalam hal sama sebagai makhluk ciptaan Tuhan.
Kelima, Al-Quran merekam ayat yang menyatakan bahwa kebebasan berkeyakinan adalah hak setiap manusia, dan manusia itu sendirilah yang akan mempertanggungjawabkan atas keimanannya. Manusia tidak diberi wewenang untuk menghakimi keyakinan orang lain, karena sejatinya yang paling mengetahui kebenaran asli hanya Allah. Dan katakanlah, “Inilah hak dari Tuhan-mu ; maka barangsiapa menghendaki, maka berimanlah, dan barangsiapa menghendaki, maka ingkarlah.” (Al-Khaf:30).
Keenam, islam mengajarkan bahwa tidak ada paksaan dalam masalah agama, Allah berfirman ; “Tidak ada paksaan dalam agama”, Al-Baqarah :257. Dalam ayat ini, nyata sekali bahwa memaksakan sebuah keyakinan kepada yang lain sangat dilarang di dalam islam. Hal ini dimaklumi bahwa dampak dari pemaksaan tersebut akan memunculkan ketidak toleran dan ketidak harmonisan antara umat beragama.
Ketujuh, dalam ajaran islampun dibuka ruang yang sangat lebar untuk menghadirkan dialog yang dilandasi kesantunan, arif dan bijaksana dalam menyelesaikan perbedaan. Ayat Al-Quran ini setidaknya mewakili itu, Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. (an-Nahl [16]:126). Melalui nash sekaligus mendidik kita akan sebuah model diskusi yang ideal dalam keragaman, yaitu “bi al-ihsan”.
Dalam sebuah riwayat, salah seorang sahabat Rasulullah saw terlibat dalam perdebatan dengan seorang pengikut nabi Yunus as. Dalam perdebatan tersebut keduanya saling mengagungkan nabinya masing-masing. Tapi rupanya sahabat Nabi saw tersebut bersikap yang membuat sakit hati pengikut nabi Yunus as. Sehingga kemudian pengikut nabi Yunus tersebut melaporkan kepada Rasulullah saw. Menanggapi hal tersebut Rasulullah saw bersabda “jangan mengatakan aku lebih baik dari Yunus bin Mattah” (HR Bukhari).
Maksud dari sabda Rasulullah saw tersebut adalah, sebuah ajakan dari Rasulullah saw kepada umatnya supaya jangan menyatakan beliau lebih agung dari yang lain dengan cara yang akan menyakitkan hati orang lain. Sebuah ajaran yang agung lagi mulia, bahwa sampaikanlah kebenaran itu dengan cara-cara santun, hikmah dan toleran.
Oleh sebab itu, sebenarnya ajaran islam dapat dijadikan harapan bagi dunia maupun bangsa kita dalam menyongsong umat lebih toleran. Dan tentunya sudah kewajiban bila umat islam menjadi umat yang paling toleran di mana saja dibandingkan dengan yang lain.
Karena toleransi yang dikampanyekan umat islam bukan lahir semata-mata demi kepentingan duniawi, politik, ekonomi dan sosial, melainkan berangkat dari nilai-nilai luhur agama. Yang dengan memperjuangkannya bagian dari ibadah kepada Allah, Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Aamiin.
- See more at: http://rajapena.org/toleransi-yang-mulai-memudar/#sthash.XJGVQmJy.dpuf

About Me


chkme

SEO Reports for surga-mu.blogspot.com

Website Perdamaian

 

Copyright © 2009 by Ajaran Islam