Senin, 01 Desember 2014

Masyarakat Perlu Menghargai Penafsiran Ahmadiyah

Pitoyo (paling kiri) dan Abdul Musyawir(paling kanan) saat menjadi pembicara dalam focus group discussion dengan tema “Jemaat Ahmadiyah Dalam Perspektif Aqidah, Syariah, dan Kebangsaan” yang diselenggarakan oleh Pusat Kajian Islam Asia Tenggara /Institute Of Southeast Asian Islam (ISAIs) UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Kamis (27/11/2014). 
Laporan Reporter Tribun Jogja, Hamim Thohari
TRIBUNBUNJOGJA.COM, YOGYA - Jemaah Ahmadiyah menafsirkan tentang keberadaan nabi setelah Nabi Muhammad SAW. Penafsiran tersebut bertentangan dengan penafsiran dari kaum Muslim Sibi yang merupakan mayoritas muslim di Indonesia. Hal inilah yang menyebabkan jemaah Ahamadiyah dicap sesat.

Dan hal tersebut dipertegas dengan dikelaurkannya Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga menteri yang mempertegas hal tersebut.
Peneliti Ahmadiyah yang sekaligus Pimpinan Perusahaan Harian Tribun Jabar, Pitoyo mengatakan perbedaan tafsir terhadap sebuah ajaran tidak sehausnya dihadapi dengan aksi kekerasan. Bahkan Alquraan memberikan keleluasan orang untuk berfikir.
“Perbedaan tafsir hendaknya diselesaikan dalam ranah ilmiah dan kajian, sehingga tidak perlu mempertemukan perbedaan tafsir terebut ke konflik horizontal. Dan sebaiknya pemerintah tidak perlu mencampuri terlalu jauh penafsiran sesorang terhadap keyakinan,” ungkap Pitoyo saat menjadi salah satu pembicara dalam focus group discussion dengan tema “jemaah Ahmadiyah Dalam Perspektif Aqidah, Syariah, dan Kebangsaan”.
Acara ini diselenggarakan oleh Pusat Kajian Islam Asia Tenggara /Institute Of Southeast Asian Islam (ISAIs) UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Kamis (27/11/2014).
Berbicara dalam konteks penelitian, Pitoyo mengatakan bahwa jemaah Ahmadiyah mempercayai bahwa Allah SWT tidak berhenti menurunkan wahyu pada Nabi Muhammad SAW. Dan mereka meyakini bahwa Mirzam Gulam Ahmad adalah salah satu orang yang menerima wahyu setelah masa Nabi Muhammad SAW.
Berdasarkan penafsiran tersebut, maka jemaah Ahmadiyahmempercayai bahwa Mirza Gulam Ahmada adalah perwujudan nabi baru yang menerima wahyu tetapi tidak membawa syariat baru.
“Hal tersebut sama dengan keberadaan Nabi Isa, dimana nabi Isa tidak menerima wahyu yang mengajarkan syariat dalam bentuk kitab suci, tetapi Injil adalah penyempurnaan Taurat,” ungkap Pitoyo.
Ditambahkan Pitoyo, keyakinan jemaah Ahmadiyah yang meyakini bahwa Mirza Gulam Ahmad adalah seorang nabi tak lepas dari perbedaan konstruksi makna wafatnya Isa Almasih dan turunya kembali Isa Almasih dan Imam Mahdi.
Menurutnya, Isa Almasih dan Imam Mahdi telah turun di dunia dalam wujud Mirza Gulam Ahmad. Dan hal tersebut berbeda dengan konstruksi makna dari golongan Suni dan Syiah. Dua golongan tersebut meyakini bahwa Isa belum meninggal dan akan turun di akhir zaman bersama dengan Imam Mahdi.(tribunjogja.com)

Sumber: http://jogja.tribunnews.com/2014/11/27/masyarakat-perlu-menghargai-penafsiran-ahmadiyah/

Link berita terkait: http://jabar.tribunnews.com/2014/11/27/pp-harian-tribun-jabar-bicara-soal-ahmadiyah

About Me


chkme

SEO Reports for surga-mu.blogspot.com

Website Perdamaian

 

Copyright © 2009 by Ajaran Islam