Nabi-nabi dan para orang suci dibangkitkan Allah s.w.t. agar manusia bisa mencontoh perilaku akhlak mereka serta membimbing manusia bersiteguh di jalan yang benar sejalan dengan petunjuk Tuhan. Jelas bahwa mereka selalu memperlihatkan sifat-sifat akhlak yang mulia pada saatnya yang tepat sehingga bisa dicapai tingkat efektivitas yang terbaik. Sebagai contoh, sifat memaafkan adalah suatu hal yang patut dipuji ketika ia yang teraniaya lalu memiliki kekuatan untuk membalas dendam namun tidak dilakukannya. Kesalehan adalah sifat yang baik kalau dilaksanakan ketika seseorang memiliki segalanya untuk memuaskan dirinya.
Rencana Tuhan berkaitan dengan para Nabi dan orang-orang suci adalah agar mereka itu memperlihatkan dan menegakkan semua bentuk dari sifat-sifat akhlak yang mulia. Guna memenuhi rencana demikian maka Allah s.w.t. membagi kehidupan mereka dalam dua bagian. Bagian pertama kehidupan mereka dilalui dalam kesengsaraan dan berbagai penderitaan dimana mereka itu disiksa dan dianiaya, dimana melalui tahapan ini mereka akan memperlihatkan akhlak luhur yang hanya bisa dikemukakan pada saat keadaan sedang sulit. Bila mereka ini tidak diharuskan menjalani kesulitan yang besar maka sukar untuk menegaskan bahwa mereka benar-benar tetap setia kepada Tuhan-nya dalam segala kesulitan serta tetap bersiteguh maju terus dalam upayanya.
Tuhan yang Maha Agung mendera mereka dengan segala cobaan agar terlihat jelas bagaimana manifestasi keteguhan hati dan kesetiaan mereka kepada Tuhan mereka. Dalam hal ini sebagaimana dalam peribahasa, nyata bahwa keteguhan hati itu lebih tinggi nilainya daripada mukjizat. Keteguhan hati yang sempurna tidak akan terlihat jika tidak ada kesulitan besar yang dihadapi dan hanya bisa dihargai jika orang tahu bahwa yang bersangkutan memang telah mengalami goncangan yang dahsyat. Semua musibah tersebut merupakan berkat ruhani bagi para Nabi dan orang-orang suci karena melalui hal itulah sifat-sifat mulia mereka yang tidak ada tandingannya menjadi nyata dan derajat mereka akan ditinggikan di akhirat.
Bila mereka tidak ada mengalami cobaan yang berat maka mereka tidak akan memperoleh berkat-berkat tersebut, tidak juga sifat mulia mereka menjadi tampak kepada umat manusia. Keteguhan hati, kesetiaan dan keberanian mereka tidak akan diakui secara universal. Mereka itu menjadi tiada tara dan tanpa tandingan serta demikian berani dan sempurna sehingga masing-masing dari mereka itu sepadan dengan seribu singa yang berada dalam satu tubuh atau seribu harimau dalam satu kerangka. Dengan cara demikian itulah kekuatan dan kekuasaan mereka menjadi suatu yang diagungkan dalam pandangan manusia dan mereka mencapai tingkatan tinggi dalam kedekatan kepada Allah s.w.t.
Bagian kedua dari kehidupan para Nabi dan orang-orang suci adalah saat kemenangan, derajat mulia dan kekayaan dilimpahkan kepada mereka dimana pada saat itu pun mereka akan memperlihatkan akhlak mulia mereka yang memang efektif pada saat mereka menggenggam kemenangan, kekayaan dan kekuasaan. Mengampuni mereka yang tadinya menyiksa, bersabar hati terhadap para penganiaya, mencintai musuh, tidak mencintai kekayaan atau bangga terhadapnya, membuka gerbang berkat dan kemurahan hati, tidak menjadikan kekayaan sebagai sarana pemuas diri, tidak menjadikan kekuasaan sebagai alat penindasan, semuanya itu merupakan sifat-sifat mulia dengan persyaratan bahwa yang bersangkutan memang sedang memiliki kekuasaan dan kekayaan. Para Nabi dan orang-orang suci itu malah akan memperlihatkan semua sifat mulia itu saat mereka telah memiliki kekuasaan dan kekayaan.
Kedua bentuk sifat-sifat akhlak mulia tersebut tidak mungkin dimanifestasi¬kan tanpa melalui tahapan kesulitan dan cobaan serta tahapan kekuasaan dan kemakmuran. Kebijaksanaan yang sempurna dari Allah s.w.t. mengharuskan bahwa para Nabi dan orang-orang suci diberikan kedua bentuk kesempatan tersebut yang sebenarnya merupakan realisasi ribuan berkat. Hanya saja urut-urutan dari kondisi demikian tidak akan sama bagi setiap orang. Kebijakan Ilahi menentukan bahwa beberapa orang akan mengalami periode kedamaian dan kenyamanan mendahului periode kesulitan, sedangkan pada yang lainnya dimulai dengan periode kesulitan sebelum datangnya pertolongan Tuhan. Dalam beberapa kejadian, kondisi demikian tidak terlalu jelas perbedaannya sedangkan pada yang lainnya dimanifestasikan secara sempurna.
Berkaitan dengan hal ini yang paling menonjol adalah Hadzrat Rasulullah s.a.w. karena kedua kondisi itu dikenakan secara sempurna atas wujud beliau sedemikian rupa sehingga sifat akhlak beliau menjadi bersinar cemerlang laiknya matahari, dan semua itu tercermin dalam ayat:
“Sesungguhnya engkau benar-benar memiliki akhlak luhur”. (S.68 Al-Qalam:5).
Jika dinilai bahwa Hadzrat Rasulullah s.a.w. adalah sempurna di dalam kedua bentuk sifat akhlak melalui pembuktian di atas, maka melalui itu dibuktikan juga keluhuran akhlak para Nabi-nabi lainnya dan dengan demikian telah meneguhkan Kenabian mereka, kitab-kitab yang mereka bawa serta kenyataan bahwa mereka semua adalah kekasih Allah s.w.t. Pendapat ini memupus keberatan sebagian orang akan akhlak Nabi Isa a.s. yang dianggap tidak cukup sempurna menghadapi kedua kondisi tersebut. Memang benar bahwa Nabi Isa a.s. menunjukkan keteguhan hati dalam keadaan kesulitan, hanya saja bentuk kesempurnaan akhlak tersebut baru akan terlihat sempurna jika saja pada saat itu Nabi Isa memperoleh kekuasaan dan keunggulan di atas para penganiaya beliau dan beliau kemudian mengampuni mereka dari lubuk hati yang paling dalam sebagaimana halnya perlakuan Hadzrat Rasulullah s.a.w. terhadap penduduk Mekah saat kota itu takluk kepada umat Islam. Penduduk kota Mekah memperoleh pengampunan penuh kecuali beberapa orang yang ditetapkan Tuhan harus menjalani hukuman karena kejahatan mereka yang luar biasa.
Hadzrat Rasulullah s.a.w. setelah mencapai kemenangan malah mengumumkan:
لا تثريب عليكم اليو م
“Tidak akan ada yang menyalahkan kalian pada hari ini.”.
Karena adanya pengampunan demikian yang semula dianggap mustahil dalam pandangan para musuh beliau, dimana tadinya mereka merasa patut dihukum mati atas segala kejahatan mereka, maka beribu-ribu orang lalu baiat ke dalam agama Islam dalam jangka waktu bilangan jam saja.
Keteguhan hati Hadzrat Rasulullah s.a.w. yang diperlihatkan dalam jangka waktu panjang di bawah penganiayaan mereka, di mata mereka menjadi cemerlang bercahaya seperti matahari. Sudah menjadi fitrat manusia bahwa keagungan dari keteguhan hati seseorang menjadi nyata saat yang bersangkutan mengampuni para penganiayanya ketika ia kemudian memperoleh kekuasaan di atas mereka. Karena itulah sifat luhur akhlak Nabi Isa a.s. di bidang keteguhan, kelemah-lembutan dan daya tahan tidak terlihat sepenuhnya dimana tidak jelas apakah keteguhan sikapnya itu karena pilihan sendiri atau memang karena terpaksa. Nabi Isa a.s. tidak sempat memperoleh kekuasaan di atas para penganiaya beliau sehingga tidak bisa dibuktikan apakah beliau memang kemudian akan mengampuni para musuhnya atau memilih mengambil pembalasan dendam atas diri mereka itu.
Berbeda dengan keadaan Nabi Isa a.s., sifat mulia dari Hadzrat Rasulullah s.a.w. telah diperlihatkan dalam ratusan kejadian dan kenyataannya bersinar terang seperti sang surya. Sifat-sifat seperti murah hati, welas asih, pengurbanan, keberanian, kesalehan, kepuasan hati atas apa yang ada serta menarik diri dari duniawi, semuanya itu jelas sekali pada sosok Nabi Suci s.a.w. dibanding dengan Nabi-nabi lainnya. Allah yang Maha Kaya menganugerahkan harta benda yang amat banyak kepada Hadzrat Rasulullah s.a.w. dan beliau membelanjakan nya semua di jalan Allah dan tidak ada sekeping mata uang pun yang digunakan untuk kepuasan diri sendiri. Beliau tidak ada mendirikan bangunan megah atau istana untuk diri sendiri dan tetap saja hidup di sebuah gubuk tanah liat yang tidak berbeda dengan rumah kediaman umat yang paling miskin. Beliau berlaku welas asih terhadap mereka yang tadinya menganiaya beliau serta menolong mereka dengan daya sarana milik beliau sendiri. Beliau tinggal di sebuah gubuk tanah liat, tidur di lantai serta makan dari roti gandum yang kasar atau puasa jika tidak ada apa-apa. Beliau dikaruniai kekayaan dunia dalam jumlah amat besar tetapi beliau tidak mau mengotori tangan beliau dengan harta itu dan tetap memilih hidup miskin daripada kemewahan serta kelemah-lembutan daripada kekuasaan. Dari sejak hari pertama beliau diutus sampai dengan saat beliau kembali kepada Tuhan beliau di langit, beliau tidak pernah menganggap penting apa pun selain Allah s.w.t. Beliau memberikan bukti keberanian, kesetiaan dan keteguhan hati di medan perang menghadapi ribuan musuh dimana maut mengintai selalu, semata-mata hanya karena Allah. Singkat kata, Allah yang Maha Agung memanifestasikan sifat-sifat mulia beliau seperti welas asih, kesalehan, kepuasan atas apa yang ada, keberanian dan segala hal yang berkaitan dengan kecintaan kepada Allah s.w.t. yang padanannya belum pernah ada pada masa sebelum beliau dan tidak akan pernah ada lagi setelah beliau.
Berkaitan dengan Nabi Isa a.s., sifat akhlak mulia tersebut tidak jelas dimanifestasikan karena hal seperti itu baru akan nyata jika seseorang kemudian memperoleh kekayaan dan kekuasaan, dan hal itu tidak ada terjadi pada diri Nabi Isa a.s. Pada keadaan beliau ini, kedua bentuk sifat akhlak tersebut tetap tinggal tersembunyi karena kondisi untuk manifestasinya tidak ada. Namun keberatan yang dianggap sebagai kekurangan pada diri nabi Isa a.s. tersebut telah ditimbali dengan contoh sempurna dari Hadzrat Rasulullah s.a.w. karena contoh yang dikemukakan Nabi Suci s.a.w. telah menyempurna¬kan dan melengkapi kekurangan pada Nabi-nabi lain sehingga apa yang semula meragukan sekarang telah jadi jelas. Wahyu dan Kenabian berakhir di sosok yang mulia ini karena semua keluhuran telah mencapai puncaknya dalam diri beliau. Semua ini merupakan rahmat Allah s.w.t. yang dikaruniakan kepada siapa yang dipilih-Nya. (Barahin Ahmadiyah, sekarang dicetak dalam Ruhani Khazain, vol. 1, hal. 276-292, London, 1984).
* * *
Allah yang Maha Agung telah membagi kehidupan Nabi kita Hadzrat Rasulullah s.a.w. dalam dua bagian, yaitu bagian pertama yang merupakan periode kegetiran, kesulitan dan penderitaan, sedangkan bagian berikutnya adalah ketika tiba masa kemenangan. Selama masa penderitaan akan muncul sifat-sifat akhlak beliau yang sesuai dengan masa tersebut, sedangkan pada waktu tiba masa kejayaan dan kekuasaan, maka muncul akhlak mulia beliau yang tidak akan jelas nyata jika tidak dilambari latar belakang kedigjayaan. Dengan demikian kedua bentuk sifat akhlak mulia beliau menjadi nyata karena melalui kedua periode masa seperti itu.
Dengan membaca sejarah tentang masa kesulitan beliau di Mekah yang berlangsung selama tigabelas tahun, kita bisa melihat secara nyata bagaimana beliau memperlihatkan akhlak seorang muttaqi yang sempurna di dalam masa kesulitan yaitu meletakkan kepercayaan sepenuhnya kepada Allah s.w.t. tanpa mengeluh sama sekali, tidak mengendurkan pelaksanaan tugas beliau, tidak takut kepada siapa pun, semuanya itu dilakukan sedemikian rupa sehingga para orang kafir pun menjadi beriman karena menyaksikan keteguhan hati yang demikian rupa dan menyadari bahwa jika seseorang tidak memiliki keimanan yang demikian kuat, mustahil yang bersangkutan akan dapat menanggung penderitaan tersebut dengan keteguhan hati.
Ketika tiba masa kemenangan, kekuasaan dan kemakmuran, lalu muncul sifat akhlak mulia Hadzrat Rasulullah s.a.w. yang lain yang berbentuk pengampunan, kemurahan hati dan keberanian yang diperlihatkan sedemikian sempurna sehingga sejumlah besar orang kafir lalu beriman kepada beliau. Beliau memaafkan mereka yang telah menganiaya beliau dan memberikan keamanan kepada mereka yang telah mengusir beliau dari Mekah serta menolong mereka yang membutuhkan bantuan. Justru setelah menggenggam tampuk kekuasaan di atas para musuh, beliau malah mengampuni mereka. Banyak orang yang menyaksikan akhlak mulia beliau menyatakan bahwa hanya orang yang muttaqi dan datang sebagai utusan Tuhan saja yang mungkin bisa memiliki akhlak demikian. Itulah sebabnya sisa-sisa rasa permusuhan para lawan beliau langsung menghilang. Akhlak mulia beliau juga dinyatakan oleh Kitab Suci Al-Qur’an dalam ayat:
“Katakanlah: "Sesungguhnya sembahyangku dan pengorbananku dan kehidupanku serta kematianku adalah semata-mata untuk Allah, Tuhan semesta alam"“. (S.6 Al-Anaam:163).
Berarti seluruh hidup beliau telah diikrarkan bagi manifestasi keagungan Tuhan serta memberikan kenyamanan kepada para makhluk-Nya agar melalui kewafatan beliau mereka semua itu akan memperoleh kehidupan.
(Islami Usulki Philosophy, Ruhani Khazain, vol. 10, hal. 447-448, London, 1984).
* * *
Yang tertinggi dari segala kehormatan adalah kehormatan dari Hadzrat Rasululah s.a.w. yang telah mempengaruhi keseluruhan dunia Islam. Kehormatan beliau telah menghidupkan kembali dunia ini. Di tanah Arab pada masa beliau, perzinahan, permabukan dan perkelahian menjadi bagian kehidupan sehari-hari. Hak azasi manusia sama sekali terabaikan. Tidak ada rasa welas asih sama sekali terhadap sesama umat manusia. Bahkan hak dari Allah s.w.t. juga telah diingkari orang sama sekali. Bebatuan, pepohonan dan bintang-bintang diimbuhi dengan sifat-sifat samawi. Berbagai bentuk syirik berkembang luas di masyarakat. Tidak hanya wujud manusia, bahkan alat kelaminnya (genitalia) pun juga disembah. Seseorang yang berpikiran waras jika melihat keadaan demikian walaupun hanya sesaat, ia akan menyimpulkan adanya kegelapan, kefasikan dan penindasan sedang merajalela. Kelumpuhan biasanya menyerang satu sisi, tetapi ini adalah kelumpuhan yang menghantam kedua sisi (jiwa dan raga). Seluruh dunia terkesan sudah membusuk. Tidak ada kedamaian sama sekali baik di muka bumi atau pun di lautan.
Hadzrat Rasulullah s.a.w. muncul dalam abad kegelapan dan kehancuran demikian dan beliau kemudian memperbaiki secara sempurna kedua sisi perimbangan dan menegakkan kembali hak-hak Tuhan serta hak-hak manusia di posisinya yang tepat. Kekuatan moril dari Hadzrat Rasulullah s.a.w. dengan demikian bisa diukur dengan melihat kondisi masa tersebut. Penganiayaan yang ditimpakan kepada beliau dan para pengikut beliau serta perlakuan beliau terhadap para musuh ketika beliau telah memperoleh kemenangan atas mereka telah menunjukkan betapa luhurnya derajat beliau.
Tidak ada jenis siksaan lain yang belum pernah ditimpakan oleh Abu Jahal dan kawan-kawannya terhadap Nabi Suci s.a.w. dan para sahabat beliau. Wanita-wanita Muslim disiksa dengan cara mengikat kaki mereka masing-masing kepada dua unta yang dihalau ke arah berlawanan sehingga tubuh mereka terbelah dua, padahal kesalahan mereka hanya karena beriman kepada Ke-Esaan Tuhan dan menyatakan:
لااله الاالله محمدرسو ل الله
Beliau memikul semua penderitaan dengan keteguhan hati, tetapi pada waktu Mekah ditaklukkan, beliau malah mengampuni para musuh tersebut dan menenteramkan mereka dengan ucapan: “Tidak akan ada yang menyalahkan kalian pada hari ini.”. Semua itu merupakan kesempurnaan akhlak mulia beliau yang tidak ditemukan pada Nabi lainnya. Ya Allah turunkanlah salam dan rahmat-Mu atas beliau dan umat beliau. (Malfuzat, vol. II, hal. 79-80).
Alih bahasa : AQ Khalid