Jumat, 21 Maret 2008

Hukum Alam Mengharuskan Adanya Wahyu

Yang Maha Bijaksana tidak berkeinginan membiarkan manusia yang lemah terperangkap dalam imaji dan dugaannya sendiri. Dia telah memberikan bermacam pengkhutbah dan penasihat yang dapat memuaskan manusia dan memberikan kedamaian pada jiwanya yang gelisah serta membekalinya dengan firman yang akan menyembuhkan penyakitnya. Kaidah hukum alam dari Tuhan memastikan perlunya wahyu untuk itu. Bukankah merupakan suatu kenyataan bahwa ketika berjuta manusia yang terkekang penderitaan akibat dosa dan penyelewengan, kemudian bisa dipengaruhi oleh bicara seorang pengkhutbah atau penasihat, karena ilmu dan pikiran mereka sendiri sudah tidak lagi memadai? Kepuasan yang diperoleh umat manusia dari sumber-sumber seperti itu tergantung juga pada kadar kekaguman dan penghormatan yang diberikan kepada sumber tersebut. Hanya janji-janji dari seorang yang bersifat amanah pada janjinya serta memiliki kemampuan memperbaiki mereka yang akan memberikan kepuasan dan ketenteraman kepada para pendengar atau pengikutnya. Dalam keadaan seperti itu siapa yang akan meragukan jika ada yang menyatakan bahwa berkaitan dengan keadaan manusia setelah mati dan hal-hal yang bersifat metaphisika, cara terbaik mendapatkan kepuasan dan pemupus kesakitan ruhani adalah Firman Tuhan. Jika seseorang beriman sepenuhnya pada Firman Tuhan maka hal itu akan menyelamatkan yang bersangkutan dari berbagai pusaran permasalahan, meredam nafsu-nafsu yang berlebihan serta mengaruniakan kepadanya keteguhan hati menghadapi musibah-musibah yang menakutkan.


Ketika seorang bijak pada saat kesulitan atau sedang dalam cengkeraman nafsu, bisa menemukan janji atau peringatan Tuhan di dalam Firman-Nya, atau melalui penjelasan dari seseorang tentang apa yang diperintahkan Tuhan maka yang bersangkutan akan demikian terpengaruh sehingga langsung bertaubat. Manusia selalu membutuhkan Tuhan guna menenteramkan dirinya. Demikian seringnya ia harus menghadapi berbagai musibah sehingga jika tidak ada Firman Tuhan yang memberikan kabar suka, pasti ia akan berputus asa sedemikian rupa sampai-sampai ia akan menyangkal Tuhan-nya, atau bahkan dalam kekecewaannya malah meninggalkan Tuhan sama sekali atau juga mati karena kesedihan. Sebagai contoh, Al-Qur’an menyatakan:

“Sesungguhnya akan Kami beri kamu cobaan dengan sedikit ketakutan dan kelaparan dan kekurangan dalam harta benda dan jiwa dan buah-buahan; tetapi hai Rasul berikanlah kabar suka kepada orang-orang yang sabar yaitu orang-orang yang apabila ditimpa suatu musibah tidak gelisah, bahkan mereka berkata: "Sesungguhnya kami kepunyaan Allah dan sesungguhnya kepada-Nya kami akan kembali." Mereka inilah yang dilimpahi berkah dan rahmat dari Tuhan mereka pulalah yang mendapat petunjuk” (S.2 Al-Baqarah:156-158).
Dengan cara yang sama, guna mengatasi nafsu seseorang maka dibutuhkan Firman Tuhan karena pada setiap langkahnya manusia selalu terantuk pada permasalahan yang hanya bisa diatasi dengan bantuan Firman Tuhan. Bila seseorang berkeinginan berpaling kembali kepada Tuhan, ia akan menghadapi berbagai rintangan. Terkadang ia teringat kembali pada segala kenikmatan duniawi, tertarik kepada keakraban kawan-kawannya atau gamang menghadapi kesulitan dalam jalan yang akan ditempuh. Kadang kala kebiasaan dan adat setempat menghalangi jalannya, atau juga pertimbangan mengenai derajat kehormatan, kemuliaan atau pun kekuasaan duniawi. Bisa jadi semuanya itu bergabung bersama menjadi satu seperti gerombolan yang berusaha menariknya ke arah mereka dan menawar­kan kepadanya berbagai kemudahan atau kenikmatan dimana kesatuan mereka itu menekan pikirannya sedemikian rupa sehingga tidak tertahankan lagi. Dalam perseteruan seperti itu maka persenjataan yang efektif berupa Firman Tuhan amat diperlukan guna menumpas kekuatan lawan pada serangan pertama.

Tidak ada sesuatu yang terjadi hanya pada satu sisi saja. Tak mungkin Tuhan akan berdiam diri seperti batu sedangkan hamba-Nya berusaha mencapai kemajuan dengan kekuatannya sendiri guna mengembangkan kesetiaan, ketulusan dan keteguhan hati. Manusia akan melaju maju dalam kasih dan diperkuat oleh keyakinan bahwa ada Wujud yang menciptakan langit dan bumi. Dugaan saja tidak akan pernah bisa menggantikan fakta. Sebagai contoh, misalkan seorang miskin yang berhutang memperoleh janji dari seorang kaya yang jujur bahwa pada saat pelunasannya nanti ia akan dibantu menyelesaikan semua hutangnya, dibandingkan dengan penghutang lain yang tidak mendapat janji dari siapa pun dimana ia terpaksa menahan diri untuk tidak berangan-angan bahwa ia akan dibantu seseorang melunasi hutangnya ketika saatnya tiba. Apakah mungkin kedua orang seperti itu memiliki tingkat kepuasan yang sama? Jelas tidak! Semua hal ini tercakup dalam hukum alam dan tidak ada kebenaran lain yang berada di luarnya. Sial sekali mereka yang katanya mengaku mengikuti hukum alam tetapi kemudian melepaskan diri dan malah melakukan hal yang bertentangan dengan apa yang mereka yakini. (Barahin Ahmadiyah, Riadh Hind Press, Amritsar, 1884, sekarang dicetak dalam Ruhani Khazain, vol. 1, hal. 340-342, London, 1984). * * * Aku tidak mengerti siapa yang telah mengecoh kalian sehingga kalian membayangkan ada kontradiksi di antara logika dan wahyu dimana dikatakan keduanya tidak mungkin berada bersamaan. Semoga Allah s.w.t. mengkaruniakan daya penglihatan bagi kalian dan mengangkat tabir yang menutup kalbu kalian. Sulitkah bagi kalian untuk memahami masalah sederhana ini bahwa justru berkat adanya wahyu maka logika mencapai kesempurnaannya, terpelihara dari segala kesalahan, menemukan jalan yang lurus, dipelihara dari segala kerancuan dalam proses berfikir, terjaga dari kesia-siaan dalam upaya dan usaha serta merubah segala keraguan dugaan menjadi suatu kepastian hakiki. Justru berkat dari wahyu maka mereka yang selama ini hanya bisa menduga-duga diberitahu akan faktanya yang benar sehingga yang bersangkutan bisa mencapai kepuasan. Karena semua hal ini, lalu apakah wahyu harus dianggap sebagai musuh daripada akal atau malah merupakan suatu berkat penolong dan penopang?
Alangkah piciknya pandangan yang menganggap sosok penolong sebagai rampok dan penghadang sedangkan seseorang yang menarik korban dari lubang perangkap malah dianggap sebagai yang telah memperosokkan. Seluruh dunia menyadari dan mereka yang punya mata bisa melihat serta mereka yang bisa berfikir, jelas mengetahui bahwa di dunia ini terdapat berjuta-juta manusia seperti itu di masa lalu mau pun di masa kini dimana mereka ini hanya mengandalkan keagungan daya fikir sedemikian rupa sehingga mereka malah dianggap sebagai orang-orang bijak, namun mereka menyangkal eksistensi Tuhan dan mereka ketika mati pun masih dalam keadaan seperti itu. Sebaliknya, tunjukkanlah kepada kami apakah ada orang yang beriman kepada wahyu tetapi masih juga menyangkal Tuhan. Karena wahyu merupakan suatu hal yang tidak terpisahkan bagi keimanan kepada Tuhan yang teguh maka akan jelas kiranya bahwa jika tidak ada wahyu maka tidak akan ada keimanan yang benar. Jelas juga bahwa mereka yang menyangkal keberadaan wahyu sebenarnya secara sengaja memang menginginkan keadaan tanpa keimanan dan lebih menyukai faham atheisme. Mereka tidak menyadari bahwa jika pendengaran mereka dikaliskan dari kesempatan mendengar Firman Tuhan maka bagaimana mungkin seseorang beriman kepada eksistensi suatu Wujud yang Maha Tersembunyi yang tidak bisa dilihat, dihidu baunya atau pun disentuh? Walaupun dengan mengamati proses penciptaan alam ini mungkin muncul pendapat adanya eksistensi sang Pencipta, namun seorang pencari kebenaran jika ia tidak pernah memandang sosok-Nya, tidak pernah mendengar suara-Nya atau pun menjumpai tanda-tanda dari suatu Wujud yang Maha Hidup, apakah yang bersangkutan bukannya akan merasa keliru telah menganggap bahwa sang Pencipta itu memang sesungguhnya ada? Barangkali para atheis atau ahli fisika tersebut memang benar dimana mereka menganggap beberapa elemen di alam ini sebagai pencipta unsur-unsur lainnya sehingga tidak perlu ada sosok sang Pencipta? Aku mengerti benar bahwa mereka yang mengagungkan logika, jika mereka memikirkan hal ini maka pikirannya akan disergap keraguan seperti itu. Ia tidak akan mungkin mengelak dari keraguan tersebut ketika ia mengalami kegagalan dalam pencahariannya akan tanda-tanda Tuhan. Sudah menjadi fitrat manusia bahwa jika ia menganggap sesuatu itu perlu dan penting bagi pandangannya tetapi tidak menemukan eksistensinya meski ia telah mencari, maka ia akan mulai meragukan kebenaran pandangannya sendiri dimana pada akhirnya malah akan menyangkalnya.

Sebagai manusia kita ini sering menduga-duga jika berhadapan dengan suatu hal yang tersembunyi bahwa bentuknya adalah seperti ini atau seperti itu. Tetapi ketika faktanya menjadi jelas ternyata gambarannya malah lain sama sekali. Pengalaman keseharian seperti ini mengajarkan kepada kita bahwa bodoh benar kita jika hanya mengandalkan diri pada dugaan-dugaan semata. Sampai dengan suatu dugaan telah ditopang oleh fakta maka semua kinerja logika hanyalah khayalan semata, tidak lebih. Hal seperti itu hanya akan membawa seseorang kepada atheisme. Kalau kalian memang sesungguhnya ingin menjadi atheis, silakan lakukan apa yang kalian suka. Namun jika tidak, maka kalian sebenarnya bisa diselamatkan dari sergapan keraguan yang telah menghanyutkan ribuan orang-orang yang lebih bijak dari kalian, yaitu dengan cara berpegang teguh kepada wahyu. Tidak mungkin dengan hanya berpegang pada akal yang berbasis logika bahwa kalian akan mempunyai kesempatan bisa melihat Tuhan sedang duduk-duduk di suatu tempat. Akhir daripada cara berfikir seperti itu karena tidak bisa menemukan tanda-tanda Tuhan dan ketika sudah lelah mencarinya, akhirnya kalian akan bergabung dengan para atheis. (Barahin Ahmadiyah, Riadh Hind Press, Amritsar, 1884, sekarang dicetak dalam Ruhani Khazain, vol. 1, hal. 344-346, London, 1984). * * *
SANGKALAN: Pemahaman dan ma’rifat yang sempurna hanya bisa diperoleh melalui suatu hal yang dapat diperhatikan sepanjang masa dan sepanjang zaman. Karakteristik ini ada dalam hukum alam yang selalu terbuka dan tidak pernah tertutup, dan karena itu bisa dianggap sebagai pedoman. Sesuatu tidak bisa dianggap sebagai pedoman atau tuntunan jika pintunya hampir selalu tertutup dan hanya terbuka pada saat-saat tertentu saja. JAWABAN: Siapa yang menganggap bahwa buku hukum alam selalu terbuka dibanding dengan wahyu Ilahi, sesungguhnya menggambarkan tanda-tanda kebutaan yang bersangkutan. Mereka yang memiliki wawasan yang sehat tentunya menyadari bahwa suatu buku bisa dianggap terbuka jika semua isi tulisannya dapat dimengerti sepenuhnya dimana si pembaca sama sekali tidak lagi dihinggapi keraguan apa pun. Lalu sekarang siapa yang dapat membukti­kan bahwa keraguan seseorang bisa hilang hanya karena telah melihat buku hukum alam? Siapa yang bisa memastikan bahwa ia telah dibimbing menuju sasaran oleh buku hukum alam? Siapa yang mau mengakui bahwa ia sudah sepenuhnya memahami semua argumentasi dari buku hukum alam? Kalau hukum alam merupakan buku yang terbuka lebar, lalu mengapa yang mengandalkan diri mereka kepadanya ternyata telah melakukan berbagai kesalahan? Hanya dari satu sumber hukum alam ini mengapa bisa terjadi berbagai perbedaan pandangan di antara sesama manusia dimana sebagian di antaranya mengakui keberadaan Tuhan sampai suatu tingkat tertentu sedangkan bagian lainnya malah menyangkalnya sama sekali? Andaikata diasumsikan pun, semata-mata hanya sebagai argumentasi, bahwa seseorang setelah mempelajari hukum alam lalu berkesimpulan bahwa tidak perlu adanya wujud Tuhan, kemudian yang bersangkutan dikaruniai umur panjang untuk menemukan kesalahannya, masih saja ada pertanyaan tertinggal yaitu jika buku ini benar terbuka, mengapa hasilnya malah telah menimbulkan kekeliruan seperti itu? Apakah kalian sependapat bahwa sebuah buku yang terbuka malah akan menimbulkan perbedaan persepsi yang demikian beragam di antara para pembacanya, khususnya yang berkaitan dengan eksistensi Tuhan, dimana mereka telah tersesat sejak langkah awal? Tidakkah disadari bahwa setelah mempelajari hukum alam ini malah ribuan para filosof yang menjadi atheis atau tetap saja sebagai penyembah berhala? Dari antara mereka itu hanya yang beriman kepada wahyu Ilahi yang nyatanya kemudian mendapat tuntunan di jalan yang benar. Bukankah merupakan suatu kenyataan bahwa mereka yang membatasi diri pada membaca hukum alam ini serta dianggap sebagai filosof akbar, justru mereka ini yang tetap saja menyangkal pengendalian Tuhan terhadap alam semesta ini serta pengetahuan-Nya mengenai segala hal yang menjadi isinya, sehingga mereka kemudian mati masih dalam keadaan penyangkalan tersebut? Apakah kalian tidak mempunyai kemampuan berfikir yang cukup untuk mengetahui bahwa sebuah perkataan dianggap mempunyai pengertian, seperti pandangan si X tetapi diartikan lain oleh si Y bahkan ditafsirkan sama sekali bertolak belakang oleh si Z bahwa perkataan atau kaidah demikian tidak bisa dianggap sebagai suatu hal yang terbuka, bahkan lebih banyak menghasilkan keraguan dan kerancuan. Guna memahami hal seperti ini tidak diharuskan kalian memiliki intelegensia tinggi karena merupakan kebenaran yang nyata. Hanya saja apa yang bisa kita katakan jika mereka tetap saja degil menyatakan kegelapan sebagai pencerahan dan nur sebagai kekelaman, malam dikatakan siang sedangkan siang benderang sebagai kelam malam? Bahkan seorang anak kecil pun tahu bahwa untuk mengerti sesuatu sebagaimana mestinya adalah jika hal itu dikemukakan dalam bahasa yang jelas.

Instrumen untuk menyatakan isi pikiran adalah kemampuan berbicara karena hanya dengan sarana ini maka orang lain mendapat informasi tentang apa yang ada di kepala kita. Semua hal yang tidak dikemukakan melalui sarana ini sulit dimengerti secara sempurna. Ada beribu-ribu permasalahan yang sulit diperoleh pemahamannya secara sempurna jika hanya didasarkan pada argumentasi alamiah semata sedangkan hasil perenungan kita juga masih sangat mungkin mengalami kesalahan. Sebagai contoh, Tuhan telah memberikan mata untuk melihat, telinga untuk mendengar dan lidah untuk berbicara. Sebatas itulah yang kita pahami dengan memperhatikan fitrat daripada anggota tubuh tersebut. Kalau kemudian kita tidak memperhatikan dan mempedomani penjelasan dari wahyu Ilahi maka merupakan kecenderungan alamiah bahwa kita tidak akan membedakan di antara kepantasan dan ketidak-pantasan suasana guna pemanfaatannya karena kita hanya akan melihat apa yang kita mau, mendengar apa yang kita suka dan mengatakan apa yang terlintas sesaat di kepala kita. Hukum alam hanya menentukan bahwa mata gunanya untuk melihat, telinga untuk mendengar dan lidah diciptakan untuk berbicara. Kita akan terperosok dalam kesalahan besar jika kemudian menganggap bahwa penggunaan fitrat penglihatan, pendengaran dan bicara tersebut lalu bisa digunakan semau-maunya tanpa kendali sama sekali. Jika tidak ada Firman Tuhan yang mengatur batasan dari hukum alam dan tidak menjelaskan kerancuan di dalamnya dengan penjelasan dan pernyataan terbuka, maka manusia jelas mempunyai risiko akan menghadapi berbagai bahaya kalau hanya mengikuti hukum alam saja. Hanya Firman Tuhan saja yang bisa menegaskan melalui kaidah-kaidahnya yang jelas bahwa ada batasan dalam hak kita berbicara, bertindak, bergerak atau pun menahan diri, serta mengajarkan kepada kita adab sopan santun dan memberikan pencerahan hati yang murni. Adalah Firman Tuhan yang demi menjaga kesopanan pandangan, pendengaran dan bicara kita lalu menetapkan:

“Katakanlah kepada orang-orang laki-laki yang beriman, mereka hendaklah menundukkan pandangan mereka dan memelihara aurat mereka. Yang demikian itu lebih suci bagi mereka” (S.24 An-Nur:31).

Dari sini jelas bahwa para muminin harus menjaga mata, telinga dan bagian tubuh yang tersembunyi dimana mereka harus menghindari tindakan yang tidak diinginkan berkaitan dengan penglihatan, pendengaran serta aurat mereka. Dengan cara demikian itulah mereka bisa mencapai kemurnian batin. Dengan kata lain, pikiran mereka akan terjaga dari hawa nafsu karena anggota-anggota tubuh inilah yang bisa merangsang nafsu dan menghidupkan naluri hewaniah.Perhatikanlah bagaimana Al-Qur’an meletakkan tekanan pada pengendalian mata, telinga dan bagian tubuh yang tersembunyi agar tidak bergelimang dalam ketidak-sucian. Dengan cara yang sama kepada lidah pun ditetapkan aturan agar berpegang kepada kebenaran sebagaimana difirmankan:

“Ucapkanlah perkataan yang jujur” (S.33 Al-Ahzab:71). Yang dimaksudkan disini ialah agar manusia hanya berbicara mengenai hal-hal yang benar dan pantas saja dan menghindari segala bualan dan kedustaan. Agar semua fitrat manusia bisa dibawa ke jalan yang lurus, juga diberikan peringatan yang bersifat komprehensif agar yang lalai pun menjadi sadar, karena ditetapkan:

“Sesungguhnya telinga dan mata dan hati, tentang semuanya ini akan ditanya” (S.17 Bani Israil:37). Dengan demikian semua anggota tubuh manusia berikut semua fitrat yang dimilikinya akan dimintakan pertanggung-jawaban kelak jika digunakan secara tidak wajar. Jelas kiranya bahwa semua anggota tubuh dan fitrat yang dimiliki manusia diarahkan melalui Firman Tuhan secara langsung dan tegas kepada kebaikan dan penggunaan yang wajar, dimana pedoman tersebut diutarakan dalam bahasa yang jelas tanpa ada keraguan atau kerancuan, serta manusia diberikan bimbingan untuk mengikuti jalan yang lurus. Mungkinkah kita bisa memahami penjelasan dan rincian seperti tersebut di atas dengan membaca hukum alam? Jelas tidak.Lalu yang mana yang dapat disebut sebagai kitab yang terbuka? Kitab mana yang memberikan petunjuk tentang batasan dan penggunaan yang pantas dari fitrat alamiah manusia? Jika kiranya cukup dengan apa yang tersirat atau diindikasikan saja, lalu buat apa manusia dilengkapi dengan lidah? Tuhan telah mengaruniakan lidah kepada kalian. Apakah masuk akal bahwa Dia sendiri tidak mempunyai kemampuan berbicara? Patutkah kita menyatakan bahwa Dia yang telah menciptakan seluruh alam semesta tanpa bantuan apa pun dan tanpa memperkerjakan buruh bangunan atau tukang kayu siapa pun, dimana Dia mencipta semata-mata berdasar keinginan-Nya, lalu dikatakan bahwa Dia tidak memiliki kemampuan berbicara? Atau mungkin memang bisa berbicara tetapi karena kekikiran-Nya lalu Dia tidak mau mengaruniakan berkat firman-Nya kepada manusia? Apakah pantas jika ada yang menganggap bahwa sang Maha Kuasa itu lebih lemah bahkan dari hewan sekali pun? Bahkan hewan dari tingkat yang terendah pun masih bisa berkomunikasi dengan yang lainnya menyampaikan hal eksistensinya melalui suaranya. Seekor lalat bisa memberitahukan kepada lalat lainnya akan keberadaan dirinya melalui suara dengungnya. Menurut kalian, yang Maha Perkasa bahkan tidak memiliki fitrat yang ada pada seekor lalat. Sebagaimana kalian sampaikan secara tegas bahwa Dia tidak pernah membuka mulut-Nya dan tidak pernah memiliki kemampuan berbicara, seolah kalian ingin menegaskan bahwa Dia itu tidak sempurna dan cacat adanya, dimana fitrat lainnya dikenal tetapi kemampuan berbicara-Nya belum ditemukan. Lalu bagaimana kalian bisa mengatakan berkaitan dengan Wujud-Nya bahwa Dia telah mengaruniakan kepada kalian sebuah buku hukum alam yang terbuka dimana Dia telah mengutarakan segala hal yang ada dalam pikiran-Nya? Sesungguhnya pandangan kalian tersebut bisa disimpulkan sebagai ungkapan bahwa Allah yang Maha Kuasa tidak ada memberikan petunjuk apa pun dan adalah kalian yang telah menemukan segalanya berdasarkan kemampuan diri kalian sendiri. Wahyu Ilahi bisa dianggap terbuka dalam pengertian bahwa wahyu tersebut dapat mempengaruhi kalbu dimana setiap bentuk temperamen memperoleh kemaslahatan dan setiap pencari kebenaran memperoleh pertolongan daripadanya. Hal itu juga yang menjadikan jelas bahwa terdapat demikian banyak orang yang telah memperoleh petunjuk melalui wahyu Ilahi dan hanya sedikit sekali, atau bahkan hampir nihil, yang mendapat pencerahan semata-mata dari logika saja. Setiap orang yang waras pun membenarkan hal ini. Jelas pula ketika seorang yang dikenal masyarakat sebagai seorang pembicara yang jujur, lalu ia mengemukakan pengalaman dan hasil telaahnya berkenaan dengan segala hal tentang kehidupan manusia setelah matinya, kemudian ia juga menggunakan logika untuk menjelaskan pemahamannya, maka sebenar­nya ia mempunyai kekuatan ganda yang bisa dimanfaatkannya. Pertama, bahwa umat telah meyakini diri yang bersangkutan memang telah mengalami dan melihat sendiri apa yang dibicarakannya. Kedua, ia mengilustrasikan kebenaran yang dikemukakannya dengan nur argumentasi yang jernih. Kombinasi daripada kedua bentuk pembuktian tersebut akan memberikan bobot istimewa dalam khutbah dan nasihat yang bersangkutan sehingga ia bisa mencairkan hati yang membatu sekali pun dan mempengaruhi sejala jenis nurani. Apa yang dikemukakannya terdiri dari berbagai bentuk ilustrasi yang mudah dipahami oleh berbagai jenis manusia sepanjang mereka masih memiliki nalar yang waras. Ia akan dapat memuaskan berbagai macam manusia menurut temperamen mereka masing-masing dan pada setiap tingkat kemampuan daya akal mereka. Khutbahnya memiliki daya tarik besar untuk menggiring manusia ke arah Tuhan dan menjadikan mereka menanggalkan kecintaan duniawi serta menanamkan dalam hati mereka konsep tentang kehidupan akhirat. Bicaranya tidak terkungkung pada konsep gelap yang sempit yang biasanya menelikung para penganut logika. Pengaruh bicaranya akan meluas dan kemaslahatan yang dihasilkannya pun akan sempurna.
Setiap wadah hanya bisa diisi sekadar kemampuan tampungnya. Hal ini diindikasikan dalam Firman Allah yang Maha Kuasa:

“Dia menurunkan air dari langit, maka lembah-lembah mengalir menurut ukurannya” (S.13 Ar-Rad:18).

Berarti bahwa Tuhan menurunkan Firman-Nya dari langit dan setiap lembah dialiri dengan Firman Tuhan setara dengan kadar daya tampung masing-masing. Dengan kata lain, setiap orang memetik kemaslahatan setara dengan kadar temperamen, pikiran dan kemampuannya. Wujud-wujud yang diagungkan memperoleh manfaat dari misteri-misteri bijak, sedangkan mereka yang lebih tinggi lagi malah mendapat pencerahan deskripsi yang di luar kemampuan kata-kata untuk mengungkapkannya. Adapun mereka dengan kapasitas yang lebih rendah, dengan memperhatikan keakbaran dan kesempurnaan sosok seorang pembaharu yang saleh, beriman sepenuhnya pada apa yang dikatakan oleh yang bersangkutan dan dengan cara demikian juga bisa mencapai pantai keselamatan dengan menumpang bahtera kepastian. Sedangkan mereka yang tertinggal di luar bahtera, sesungguhnya mereka tidak ada urusan dengan Tuhan dan mereka itu hanyalah serangga di muka bumi.

Sumber : Esensi Ajaran Islam jilid 2

About Me


chkme

SEO Reports for surga-mu.blogspot.com

Website Perdamaian

 

Copyright © 2009 by Ajaran Islam