Pertama, adalah Kitab Suci Al-Qur’an yang merupakan Kitab Allah yang menjadi bukti terakhir yang paling konklusif. Kitab ini merupakan Firman Tuhan yang bebas dari segala keraguan dan perkiraan.
Kedua, adalah praktek kebiasaan yang dilakukan oleh Hazrat Rasulullah s.a.w. yang disebut sebagai Sunah. Kami tidak menganggap bahwa Hadts dan Sunah adalah sama atau menjadi satu kesatuan. Hadts berbeda dengan yang dikenal sebagai Sunah.
Yang dimaksud dengan Sunah adalah praktek kebiasaan yang dilakukan Hazrat Rasulullah s.a.w. yang kita ikuti dan muncul bersamaan dengan Al-Qur’an dan berjalan paralel. Dengan kata lain, Al-Qur’an adalah Firman dari Allah yang Maha Kuasa, sedangkan Sunah adalah tindakan Hazrat Rasulullah s.a.w. Sudah menjadi Sunatullah (kebiasaan bagi Allah s.w.t.) bahwa para Nabi yang membawakan Firman Tuhan sebagai pedoman bagi umat manusia dimana mereka menggambarkan pelaksanaannya melalui tindakan mereka sehingga tidak ada keraguan dalam pikiran manusia berkaitan dengan perintah Tuhan. Para Nabi melaksanakan Firman tersebut dan mengajak serta mendorong umatnya untuk melakukan hal yang sama.
Sumber ketiga yang merupakan tuntunan bagi manusia adalah Hadts yaitu riwayat atau kisah yang dikompilasi dari pernyataan berbagai perawi kurang lebih sekitar satu abad setengah setelah Hazrat Rasulullah s.a.w.
Perbedaan di antara Sunah dan Hadts ialah Sunah itu merupakan praktek berkelanjutan yang dimulai oleh Hazrat Rasulullah s.a.w. Kedudukan Sunah dalam kepastian ajaran adalah kedua setelah Al-Qur’an. Sebagaimana Hazrat Rasulullah s.a.w. ditugaskan untuk penyiaran Al-Qur’an, beliau juga ditugaskan untuk menetapkan Sunahnya. Sebagaimana Al-Qur’an bersifat penuh kepastian maka begitu juga dengan Sunah yang berkelanjutan. Kedua tugas tersebut dilaksanakan Hazrat Rasulullah s.a.w. sebagai kewajiban beliau. Sebagai contoh, ketika shalat dijadikan sebagai suatu kewajiban maka Hazrat Rasulullah s.a.w. memberikan contoh melalui tindakan beliau berapa jumlah rakaat yang harus dilakukan dalam setiap shalat. Dengan cara sama beliau memperagakan pelaksanaan ibadah haji. Beliau mendidik ribuan dari para sahabat tentang praktek pelaksanaan ibadah. Ilustrasi praktek yang bersifat berkesinambungan di antara umat Muslim tersebut disebut sebagai Sunah.
Di sisi lain Hazrat Rasulullah s.a.w. tidak pernah mengatur untuk mencatat atau mengkompilasi Hadts di hadapan atau di masa hidup beliau. Hazrat Abu Bakar r.a. pernah mengumpulkan beberapa Hadts tetapi karena sifat kehati-hatian, beliau kemudian membakarnya karena beliau sendiri belum pernah mendengar isinya dari Hazrat Rasulullah s.a.w. sehingga tidak meyakini kebenarannya. Saat para sahabat Rasulullah s.a.w. sudah sama berpulang maka beberapa penerus mereka berfikir untuk mengkompilasi Hadts. Tidak ada yang meragukan bahwa para penghimpun Hadts adalah orang-orang yang saleh dan muttaqi. Mereka telah menguji kebenaran dari Hadts sejauh dimungkinkan dan menghindari hal-hal yang diperkirakan sebagai tidak asli, serta menolak Hadts atau pun perawi yang mereka ragukan kejujurannya. Mengingat semua kegiatan tersebut bersifat ex-post factum (sesuatu yang terjadi setelah fakta kenyataannya) maka jadinya tidak lebih merupakan dugaan semata. Hanya saja amat tidak adil untuk mengatakan bahwa Hadts adalah suatu kesia-siaan yang tidak berguna. Sudah demikian banyak kehati-hatian yang dicurahkan dalam upaya kompilasi Hadts dan begitu banyak penelitian dan kritikan yang diterapkan dalam upaya tersebut sehingga tidak ada padanannya dalam agama-agama lain.
Umat Yahudi juga memiliki kompilasi Hadts dan Yesus a.s. dimusuhi oleh sekte bangsa Yahudi yang menganut Hadts tersebut. Hanya saja tidak ada dibuktikan kalau para penghimpun Hadts Yahudi telah sedemikian hati-hatinya dalam mengkompilasi Hadts sebagaimana yang dilakukan oleh para penghimpun Hadts dari umat Muslim. Tetapi salah besar jika kemudian membayangkan bahwa sebelum Hadts selesai dikompilasi bahwa umat Muslim tidak mengetahui rincian ibadah shalat atau memahami cara terbaik melaksanakan ibadah haji. Ilustrasi dari Sunah telah mengajarkan kepada mereka seluruh batasan dan kewajiban yang ditetapkan oleh agama Islam. Namun benar juga jika dikatakan bahwa bila Hadts yang dikumpulkan jauh setelah masa Rasulullah s.a.w. bila tidak dikompilasi pun tetap saja tidak akan mengurangi hakikat ajaran Islam karena Al-Qur’an dan Sunah telah memenuhi keperluan tersebut. Hadts merupakan nur pelengkap dan Islam menjadi Nur di atas Nur dimana Hadts menjadi bukti kesaksian dari Al-Qur’an dan Sunah. Dari sekian banyak sekte atau mazhab yang kemudian muncul di antara umat Muslim, sekte yang benar memperoleh manfaat akbar dari Hadts hakiki. Pandangan yang benar ialah jangan memperlakukan Hadts sebagai suatu hal yang lebih berwenang daripada Al-Qur’an sebagaimana yang dilakukan oleh kelompok Ahl-i-Hadts1 di zaman ini atau lebih memilih pernyataan Hadts yang bertentangan dengan Al-Qur’an dibanding Al-Qur’an itu sendiri, tetapi juga jangan menganggap Hadts sebagai suatu yang sia-sia dan dusta sebagaimana keyakinan dari Maulvi Abdullah Chakralvi.
Jadikan Al-Qur’an dan Sunah sebagai batu penguji suatu Hadts dan mana yang tidak bertentangan dengan keduanya itu, sewajarnya diterima dengan baik. Inilah jalan yang lurus dan berberkatlah mereka yang mengikutinya. Sangat bodoh dan sial orang yang serta merta menolak Hadts tanpa melalui uji coba sebagaimana kami usulkan di atas. Menjadi kewajiban bagi para anggota Jemaat kami bahwa Hadts yang tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunah, harus diterima dan dipatuhi, betapa lemahnya pun tingkat kesahihannya, dan diperlakukan lebih tinggi dari peraturan yang ditetapkan para jurist. (Review on the Debate between Batalwi and Chakralvi, Qadian, 1902; sekarang dicetak dalam Ruhani Khazain, vol. 19, hal. 209-212, London, 1984).